Minggu, 06 Maret 2011

MEREKRUT SENJA

A
aku menunggumu di dermaga waktu
B
bersama segenggam cinta yang kubawa
dari pelesirku ke nuraga
C
...........................

Sabtu, 05 Maret 2011

curahan hat

berhara pada manusia seringkali membuatku keceewa, entah mengapa........ tapi jika perasaan itu menyergapku maka sebait dawuh guruku yang biasa kupanggil abah.
"kalau kau mau berharap, berharap sajalah pada Allah. karena Dia menjanjikan segalanya. satu hal yang perlu kau ingat, janganlah pernah berharap pada makhluk-Nya"
 "kenapa bah?"
"suatu saat kau pasti tahu jawabannya"
dan teernyata benar apa yang dikatakan beliau. aku tyak mencari dalam banyak literatur yang berserakan dimana-mana tapi aku merasakannya sendiri sekarang. tuhan tempat meminta dan tempat segala-galanya..

epistimologi

EPISTIMOLOGI II

A. PENDAHULUAN
            Perkembangan peradaban manusia jauh lebih cepatdibandingkan dengan makhluk lainnya di dunia ini. Sejak kelahirannya di dunia, manusia terus berkembang dan mengembangkan dirinya demi mencapai kenikmatan, kesenangan, kesejahteraan, dan berbagai keindahan hidup yang lain. Salah satu wujud peradaban manusia yang cepat berkembang adalah ilmu pengetahuan yang juga berpengaruh terhadap bidang-bidang yang lain. Sehingga dari hal tersebut, muncul berbagai pertanyaa-pertnyaan yang berkaitan dengan epistimologi. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan terlebih dahulu kita harus memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan pengetahuan. Dan makalah ini berusaha menjawab persoalan itu meski dengan penjelasan dan bahasa yang cukup sederhana, tapi semoga bermanfaat kepada para pembaca.

B. PENGERTIAN ILMU
Kata “ilmu” merupakan terjemahan dari kata “science”, yang secara etimologis berasal dari kata “scire”, yang artinya “to know. Dalam pengertian sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam, yang sifatnya kuantitatif dan objektif.[1]
Menurut Titus, ilmu (science) diartikan sebagai common sense (pengetahuan biasa) yang diatur dan diorganisasikan, mengadakan pendekatan terhadap benda-benda atau peristiwa-peristiwa dengan menggunakan metode-metode observasi yang teliti dan kritis. Ilmu bisa juga diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu hal yang disusun secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala pada hal tersebut.[2]
Ashqkey Muntagu yang disunting oleh Endang Saifuddin Anshari, mengemukakan, ilmu merupakan pengetahuan yang disusun, yang berasal dari pengamatan, studi dan pengalaman, untuk menentukan hakikat dan prinsip tentang hal yang sedang dipelajari.
Profesor Harsoyo mengemukakan beberapa pengertian tentang ilmu, yaitu :
1.       ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan atau kesatuan pengetahuan yang terorganisasikan.
2.       ilmu dapat pula dilihat sebagai suatu pendekatan atau suatu metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh factor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indra manusia[3]
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan gabungan dari beberapa disiplin ilmu yang disusun secara sistematis dan logis untuk mengetahui hakikat sesuatu yang sedang dipelajari, baik melalui observasi yang teliti dan kritis atau berasal dari pengalaman dan pengamatan. Ilmu merupakan keistimiwaan bagai manusia sehingga ia unggul dari mahluk-mahluk lainnya, dan dengan ilmu manusia terlepas dari jerat kejahilan.

C. PENTINGNYA ILMU BAGI KEHIDUPAN MANUSIA
Dalam pandangan Al-Qur’an, ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia lebih unggul dari mahluk-mahluk lainnya guna menjalankan fungsi kekhalifahannya. [4]Jika tuhan tidak menganugerahkan ilmu terhadap manusia, niscaya manusia akan bertindak layaknya hewan (tidak berakal).
Diantara keutamaan ilmu adalah, ilmu sebagai syarat utama dalam setiap kepeminpinan dalam masyarakat. Umat tidak boleh dipimpin oleh orang-orang jahil akan tetapi harus dipimpin oleh orang-orang yang berilmu. Umat yang menyerahkan tugas kepemimpinan kepada orang-orang bodoh layaknya seperti menggali kuburan dengan cakaran jari-jarinya[5]. Sebab pemimpin yang jahil hanya akan menuntun umat pada kesesatan. Al-Qur’an juga sangat menghargai ilmu pengetahuan, mendorong untuk mencarinya, dan memuji orang-orang yang menguasainya. Ayat Al-Qur’an yang diturunkan pertama kali kepada Rasulullah SAW. Menunjukakn keutamaan ilmu pengetahuan, yaitu dengan memerintahkan membaca, sebagai kunci ilmu pengetahuan, dan menyebut qolam (alat transformasi ilmu pengetahuan).[6]

D. UNSUR-UNSUR ILMU
Setiap pengetahuan itu berbeda, dan untuk mengetahui letak perbedaannya diperlukan adanya penelusuran mengenai apa persoalan yang sesungguhnya terjadi. Sehingga bisa ditemukan titik terang perbedaan suatu ilmu dengan ilmu yang lain.
            Sedangkan ciri persoalan pengetahuan ilmiah adalah sebagai berikut:
1.     bahwa persoalanitu penting untuk segera dipecahkan dengan maksud untuk memperoleh jawaban.
2.     bahwa setiap ilmu dapat memecahkan masalah sehingga mencapai satu kejelasan serta kebenaran, walaupun bukan kebenaran akhir yang abadi dan mutlak.
3.     bahwa setiap masalah dalam ilmu harus harus dapat dijawab dengan cara penelaahan atau penelitian keilmuan yang seksama, sehingga dapat dijelaskan dan didifinisikan.
Jadi telah jelas, bahwa persoalan itu timbul karena adanya pengetahuan atau keinginan untuk mengetahuinya. Kemudian diadakan penelitian dan penelaahan agar dapat diperoleh kejelasan.

E. OBYEK ILMU
Setiap ilmu pengetahuan ditentukan oleh objeknya. Ada dua macam obyek ilmu pengetahuan, yaitu:obyek material dan obyek forma. Obyek material adalah seluruh lapangan atau bahan yang dijadikan obyek penyelidik suatu ilmu. Sedangkan objek forma adalah objek materia yang disoroti oleh suatau ilmu, sehingga membedakan antara suatu ilmu dengan ilmu yang lain, jika berobjek material sama.  [7]
Pada garis besarnya, ilmu pengetahuan adalah alam dan manusia. Jadi, yang membedakan satu ilmu dari lainnya adalah objeknya. Apabila kebetilan objek materianya sama, maka yang terutama membedakan adalah obyek formanya, yaitu sudut pandang tertentu yang menentukan macam ilmu.

F. CARA MEMPEROLEH ILMU
Metode ilmiah yang dikembangkan oleh para pemikir muskim berbeda secara signifikan dengan metode ilmiah yang dikembangkan oleh beberapa pemikir barat. Sebab, seperti pernah dikatakan ziaduddin Sardar, sementara para pemikir barat hanya menggunakan satu nacam metode ilmiah, yaitu metode observasi maka pemikir muslim menggunakan tiga macam metode sesuai dengan tingkat atau hierarki objek-objeknya, yaitu: 1). Metode observasi (bayani), sebagaimana yang digunakan di barat. (2) metode logis atau demonstratif (burhani). (3)metode intuitif (irfani), yang masing-masing bersumber pada indra, akal , dan hati.[8]
1.       Observasi (bayani)
Metode observasi adalah pengamatan indrawi terhadap objek-objek yang ditelitinya. Al-kindi misalnya, dia tidak hanya dikenal sebagai filosof tapi juga ilmuan yang menggunakan metode observasi di laboratorium kimia dan fisikanya.
2.       Metode demonstratif
Metode demonstratif dipandang sebagai metode yang paling ilmiah, yang diharapkan dapat menangkap realitas objek-objek yang ditelitinya dengan tepat, karena telah terhindar dari kekeliruan-kekeliruan logis.caranya adalah mengambil kesimpulan dari premis-premisnya (silogisme).
3.       Metode intuitif
Pendekatan intuitif disebut dengan pendekatan presensial karena objek-objek yang ditelitinya hadir dalam jiwa seseorang.sehingga kita bisa mengalami dan merasakannya.

G. KEBENARAN ILMU
Secara umum orang merasa bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran. Namun masalahnya tidak sampai di situ. Problem inilah  yang memacu perkembangan epistimologi. Telaah epistimologi terhadap kebenaran membawa orang pada satu kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran yaitu    A. kebenaran epistimologikan, adalah kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia. B. kebenaran ontologikal, adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada maupun diadakan. C. kebenaran semantikal, adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa.[9]
Namun dalam pembahasan ini yang dibahas adalah kebenaran epistimulogikal, karena kebenaran yang lainnya secara inheren akan masuk dalam kategori kebenaran epistimologikal. Teori yang menjelaskan kebenaran epistimologikal adalah sebagai berikut[10] :
1.       teori korespondensi. Bagi orang kebanyakan, sebuah pernyataan itu benar jika apa yang diungkapkannya merupaka fakta, dan barangkali kita sendiri juga berpandangan demikian. Faham korespondensi biasanya dianut oleh para pengikut realisme.
2.       teori koherensi. teori koherensi tentang kebenaran biasanya dianut oleh para pendukung idealisme, seperti filusuf Britania F. H. Bradley. Menurut teori ini bahwa kebenaran itu ada apabila terjadi kesesuaian antara pendapat dengan objek yang dituju oleh suatu pernyataan. Berarti pengetahuan itu akan benar apabila sesuai dengan objek. Suatu proposisi atau pengertian adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang diselaraskannya, yaitu apabila ia menyatakan apa adanya, kebenaran adalah yang bersesuaian dengan fakta, yang selaras dengan realitas, yang serasi dengan situasi aktual.
3.       teori pragmatisme. Menurut teori ini, benar tidaknya suatu ucapan semata-mata bergantung pada manfaat. Sesuatu dianggab benar jika mendatangkan manfaat. Tokoh dari teori ini adalah John Dewey.
4.       teori empiris. Definisi-definisi tentang kebenaran faham-faham empiris mendasarkan diri atas berbagai pengalaman-pengalaman, dan biasanya menunjuk kepada pengalaman inderawi seseorang.

H. BIDANG-BIDANG ILMU
Ada berbagai macam ahli yang membagi ilmu pengetahuan, dan hal ini tergantung pada cara dan tempat para ahli itu meninjau. [11]
Sebagian ilmu telah menjadi pusat perhatian para filosof dan beberapa ahli fikir sejak zaman yunani kuno sampai kini. Beberapa pemikir besar yang telah berusaha untuk mengadakan pembagian ilmu antara lain : Plato, Aristoteles, Francis Bacol, John Locke, Auguste Comte, Wilhelm Windel Band, dan masih banyak ahli lainnya.
Selain para ahli piker, system pendidikan yang berkembang seirama dengan perkembangan pemikiran yang mengadakan pembidangan juga baik dibatasi oleh suatu Negara atau kelompok. Pada abad pertengahan bidang-bidang ilmu yang menjadi bahan pendidiakn di sekolah-sekolah yang disebut Artis Liberal yang terdiri atas trivium yaitu gramatika, dialektika, dan retorika, dan quadrivium yaitu aritmatika, geometrika dan astronomia.
Apabila sistem pendidikan di atas tersebut dihubungkan dengan sistem pendidkan di Amerika Serikat, maka terdapatlah satu persamaan, yaitu di A.S ada college of Arts disamping ada College of Science.
Ada juga yang membagi ilmu pengetahuan atas dua bagian, yaitu:
·        ilmu pengetahuan murni (ilmu teoritika, pure science, zuivere nefenschap, reine wissenschaft)
·        ilmu pengetahuan terpakai (ilmu praktika, applied science, toegespaste of practische, angewandte wissenschaft)
Undang-undang pokok tentang Perguruan Tinggi Nomor 22 tahun 1961 Indonesia menggolongkan ilmu pengetahuan atas empat kelompok, yaitu:
1)       ilmu agama kerohanian
o       ilmu agama
o       ilmu jiwa
2)       ilmu kebudayaan
o       ilmu sastra
o       ilmu sejarah
o       ilmu pendidikan
o       ilmu filsafat
3)       ilmu sosial
o       ilmu hukum
o       ilmu ekonomi
o       ilmu sosial politis
o       ilmu ketatanegaraaan dan ketataniagaan
4)       ilmu eksakta dan teknis
o       ilmu hayat
o       ilmu kedokteran
o       ilmu farmasi
o       ilmu pertanian, dll.
Pada garis besarnya, ilmu pengetahuan terbagi dari triga kelompok besar :
a. ilmu-ilmu pengetahuan alam
b. ilmu-ilmu kemasyarakatan
c. humaniora

I. SIKAP ILMIAH
Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuan, karena sikap ilmiah adalah suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai suatu pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif. Dalam sikap ilmiah seorang ilmuan tidaklah membahas tentang tujuan dari ilmu itu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai tujuan untuk mendapatkan suatu ilmu yang bebas dari prasangka dan pamrih.
Sikap ilmiah iutu antara lain adalah:
o       tidak ada pamrih
o       bersikap selektif
o       adanya rasa yang layak untuk percaya terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indra serta budi (mind) yang digunakan dalam memperoleh pengetahuan.
o       Adanya sikap yang berdasar pada suatu perasaan dengan merasa pasti bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian, walaupun terbuka kemungkinan untuk diuji kembali jika masih terkandung kebenaran ilmiah yang berbeda
o       Adanya suatu kegiatan rutin
o       Adanya suatu sikap etis yang mengarah pada etik profesi
Sikap ilmiah yang dikemukakan di atas adalah sikap ilmiah yang bersifat umum, karena masih ada sikap-sikap keilmuan yang mewarnai bidang ilmu masing-masing. Seperti ilmu kedokteran yang sikap ilmiah khusus dan etik keilmuan yang berbeda dengan ilmu-ilmu lain. Namun kiranya sikap ilmiah yang bersifat umum itu akan mewarnai semua ilmuan yang bijak dalam bidang ilmu apapun.

J. KESIMPULAN
Perkembangan peradaban manusia didorong oleh adanya perkembangan ilmu pengetahuan yang beragam, baik bentuk maupun lingkupnya sehingga menghasilkan peradaban manusia yang lebih beragam dan kaya
v     Perkembangan ilmu yang beragam menghasilkan bipolaritas dalam ilmu itu sendiri. Pengkategorian ilmu tidak bisa dihindari, seperti sumber ilmu pengetahuan dari barat dan timur, ilmu yang bersifat empiris, rasional, dan pragmatis, ilmu pengetahuan tradisional dan modern.


[1] Drs. H. Burhanuddin Salam, Logika Materiil Filsafat ilmu Pengetahuan, (Jakarta; Rineka Cipta, 1997), hal 29-30
[2]  Drs. Peter salim, M.A dkk, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 2002), hal 577
[3] Ibid hal 90-91
[4] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan,2007), hal 435
[5] Dr. Yusuf Qardhawi, Al-Quran Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta:Gema Insani Press, 1998), hal 147-148
[6] Ibid hal 90-91
[7] I.R. Pudjawijana, Tahu dan Pengetahuan; pengantar ke ilmu dan Filsafat(Jakarta:tanpa penerbit, 1967) hal 82
[8] Mulyadi kertanegara, menembus Batas waktu: Panorama Filsafat Islam (Bandung:Mizan, 2002) hal 61
[9] www.google.com
[10] P. Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara wacana  Yogya, 1996) hal180-187
[11] H. Endang saifuddin Anshari, M.A, Ilmu, Filsafat, dan Agama (Surabaya: PT. Bina Ilmu) hal 51

Jumat, 04 Maret 2011


STUDI TAFSIR AYAT BIRRUL WALIDAIN DAN RELEVANSINYA DENGAN KONSEP PENDIDIKAN ANAK
(Studi Terhadap Tafsir Al-Maraghi Karya Ahmad Musthafa Al-Maraghi)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat ujian akhir
program Strata Satu ( SI ) guna memperoleh gelar Sarjana
dalam Ilmu Pendidikan Agama Islam ( PAI ) pada
Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah
Guluk-Guluk Sumenep Madura



 











Oleh :
ABD. MUHSHI
NIM./NIMKO : 200536012099 2005.4.36.0001.1.0


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI ILMU KEISLAMAN ANNUQAYAH
GULUK-GULUK SUMENEP
2010





PERSETUJUAN PEMBIMBING


Skripsi dengan judul “STUDI TAFSIR AYAT BIRRUL WALIDAIN  DAN RELEVANSINYA DENGAN KONSEP PENDIDIKAN ANAK (Studi Terhadap Tafsir Al-Maraghi Karya Ahmad Musthafa Al-Maraghi)” yang ditulis oleh saudara Abd. Muhshi ini telah diperiksa, dikoreksi dan diberi masukan perbaikan-perbaikan seperlunya. Maka kami berkesimpulan bahwa skripsi ini dapat segera dimunaqasyahkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.


Guluk-Guluk,  05 Juni 2010




Pembimbing I                                                              Pembimbing II



Drs. H. Syamsul Arifin, M. Ag.                                   Drs. H. Syamli Muqsith

Mengetahui,
Ketua Jurusan PAI




Drs. H. Halim Isma’iel, M.Pd.I




PENGESAHAN PEMBIMBING
Proposal dengan judul : pengaruh pendidikan orang tua terhadap peningkatan kecerdasan emosional anak usia pra-sekolah di TK Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Tahun Pelajaran 2009/2010 yang ditulis oleh saudari Sa’idah telah diperiksa, dikoreksi, diberi masukan untuk melakukan perbaikan-perbaikan seperlunya. Maka kami beri kesimpulan bahwa proposal ini dapat segera di seminarkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Guluk-Guluk …………… 2010


Pembimbing I                                                              Pembimbing II


Drs. H. Abbadi Ishom, MA                                      Fathor Rahman, S.Pd.I, M.Pd.

Mengetahui,
Ketua Jurusan


Fathor Rahman, S.Pd.I, M.Pd.



SURAT PERNYATAAN


Dengan ini, saya :

Nama              : ABD. MUHSHI
NIM/NIMKO : 200536012099/2005.4.36.0001.1.0
Jenjang            : Strata Satu (S-1)
Jurusan            : Pendidikan Agama Islam (PAI)

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “STUDI TAFSIR AYAT BIRRUL WALIDAIN  DAN RELEVANSINYA DENGAN KONSEP PENDIDIKAN ANAK (Studi Terhadap Tafsir Al-Maraghi Karya Ahmad Musthafa Al-Maraghi)” secara keseluruhan adalah hasil penelitian atau karya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya.



Guluk-Guluk,  10 Juni 2010

Saya yang menyatakan



ABD. MUHSHI





ABSTRAK

Abd. Muhshi, 2010. Studi Tafsir Ayat Birrul Walidain  Dan Relevansinya
Dengan Konsep Pendidikan Anak (Studi Terhadap Tafsir Al-Maraghi Karya Ahmad Musthafa Al-Maraghi)
Skripsi, Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah (STIKA) Guluk-Guluk Sumenep Madura.
Pembimbing I              : Drs. H. Syamsul Arifin, M.Ag
Pembimbing II            : Drs. H. Syamli Muqsith
Tahun lulus                  : 2010

Skripsi ini berjudul Relevansi birrul walidain dengan Pendidikan Anak. Dan maksud judul yang penulis kemukakan adalah kesesuaian untuk melihat korelasi antara berbakti kepada kedua orang tua terhadap ayat birrul walidain  dalam kajian tafsir Al-Maraghi dengan konsep pendidikan anak. Latar belakang diangkatnya masalah ini, dikarenakan berkembangnya persepsi ketaatan kepada orang tua cendrung parsial dan berat sebelah.         Dari judul tersebut dalam pembahasannya, terdapat tiga perumusan masalah yaitu; bagaimana konsep birrul walidain?, bagaimana konsep pendidikan anak? dan di mana letak relevansi birrul walidain dengan pendidikan anak?. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep birrul walidain dalam konsep pendidikan anak, dan untuk mengetahui relevansi birrul walidain dengan pendidikan anak. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (libraray research). Sesuai dengan jenis penelitian, maka teknik yang penulis gunakan adalah dengan mengumpulkan data atau keterangan melalui bahan-bahan kepustakaan. Dari penelitian yang penulis lakukan diperoleh gambaran tentang relevansi birrul walidain dengan pendidikan anak, yang meliputi konsep pendidikan anak, konsep birrul walidain, dan relevansi keduanya.
Mengenai konsep pendidikan, penulis mulai dengan pengertian pendidikan secara umum yang kemudian dilanjutkan dengan pemahaman tentang pendidikan anak secara khusus. Pendidikan anak adalah proses mempersiapkan anak untuk menjalani dan mencapai tujuan hidup berdasarkan potensi diri anak dan dalam konteks masyarakatnya dengan menggunakan metode tertentu. Signifikansi keluarga, terletak pada peranan dan kedudukannya, sedangkan periodesasi dan karakter anak penulis batasi sejak dalam kandungan sampai umur 6 tahun. Kemudian penulis akhiri dengan strategi mendidik anak.
Pada bab berikutnya, penulis membahas konsep birrul walidain, yang meliputi pemahaman penulis terhadap surat Maryam ayat 14 dan 32 yang bermakna dua sisi, yaitu ketaatan kepada orang tua yang terbatas selama tidak untuk berbuat yang dilarang oleh Tuhan dan makna berbuat baik kepada orang tua, yang dalam hal ini tidak ada batasan. Sub bab ini dilanjutkan dengan masalah hak dan kewajiban orang tua dan anak, yang pada intinya harus dilaksanakan secara seimbang. Menurut analisa penulis, telah terjadi ketidakseimbangan informasi dan wacana tentang makna birrul walidain. Karena itu, skripsi juga dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan tersebut.BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
               Berbakti kepada orang tua bagi setiap  Muslim, baliqh, aqil, merupakan sebuah kewajiban atas dirinya. Tidak ada satu pun yang berani mengingkari pernyataan ini, peluh kasih sayang yang mereka berikan kepada kita semenjak masih di dalam kandungan ibu serta kemudian mereka harus menanggung bersusah payah selama 9 bulan hingga  sampai kita lahir ke dunia ini, meskipun kita telah banyak menyakiti hati mereka, adalah bukti bagaimana keduanya memang selayaknya selalu dimuliakan. Dalam hal ini Allah dengan jelas menyebutkan dalam dalam alqur’an, surat Al Isra ayat 23 yang berbunyi :
4Ó|Ós%ur y7/u žwr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8yYÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ  

Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali- kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (QS. Al Isra’/17: 23).[1]
Dari ayat di atas menerangkan tentang dasar budi dan kehidupan bagi seorang Muslim, yang pertama yaitu ahklak atau budi terhadap Allah, disinilah letak pohon budi yang sejati. Yang berjasa kepada kita, yang menganugerahi kita hidup, memberi rizki, memberikan perlindungan dan akal, tidak ada yang lain, hanya Allah. Tujuan hidup di dunia ini telah dijelaskan, tidak lain hanya untuk menyembah Allah dan mengakui hanya satu Tuhan itu, yaitu Allah. Menyembah, beribadat, dan memuji kepada Allah Yang Maha Esa itulah yang dinamai Tauhid Uluhiyah. Ayat di atas dibahas juga dalam bukunya Hamka (Tafsir Al-Azhar)[2], penggalan ayat ini yang berbunyi “Wabil walidaini Ihsanan”, bahwasanya berkhidmat kepada ibu bapak, untuk menghormati serta senantiasa berbuat baik dan bernakti kepada kedua orang tua yang telah menjadi sebab dan perantara bagi kita dapat hidup di dunia ini adalah merupakan  kewajiban yang kedua sesudah kita beribadat kepada Allah SWT.
Begitulah Al-Quran menggambarkan tentang bagaimana manusia harus berbuat baik dan memuliakan kepada kedua orang tua setelah beribadat kepada Allah SWT. Karena memang sudah sepantasnya dan seharusnya bagi seorang anak untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya, yang demikian itu karena betapa besar jasa keduanya kepada sang anak. Al-Quran juga menyinggung bagaimana pengorbanan orang tua terhadap anaknya ketika sang anak masih dalam kandungan.
 Betapa susah dan payahnya sang ibu dalam menjaga kandungannya agar sang anak terlahir dengan sehat dan sempurna. Bagaimana sakitnya derita yang ditanggung sang ibu ketika menanti detik-detik kelahiran, dia berjuang sekuat tenaga antara hidup dan mati demi si mungil pujaan hati. Dan seberapa banyak keringat yang dikeluarkan sang ayah dalam mencari nafkah untuk membahagiakan sang anak yang nantinya akan menjadi pelita kehidupan mereka, kata-kata lelah tidak pernah terucap dari bibir sang ayah tatkala melihat senyum bahagia dari bibir mungil si penyejuk mata. Betul sekali pepatah mengatakan “Kasih sayang orang tua sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah”.
Berkenaan dengan hal itu, Allah memerintahkan dalam Al-Qur’an Surah Luqman ayat 14:
$uZøŠ¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷ƒyÏ9ºuqÎ/ çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $·Z÷dur 4n?tã 9`÷dur ¼mè=»|ÁÏùur Îû Èû÷ütB%tæ Èbr& öà6ô©$# Í< y7÷ƒyÏ9ºuqÎ9ur ¥n<Î) 玍ÅÁyJø9$# ÇÊÍÈ     

Artinya : “ Dan kami perintahkan kepada manusia ( berbuat baik ) kepada dua orang ibu bapaknya ; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun ., bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”.(QS.Luqman/31:14).[3]

                
Dalam konteks ayat tersebut, Allah menghendaki agar sang anak berbakti kepada kedua orang tua mereka dan bersifat lemah lembut kepada keduanya, itupun masih jauh dari cukup bila dibandingkan dengan kepayahan dan kelelahan orang tua dalam mengandung, membesarkan dan mendidik sang anak hingga beranjak dewasa.
Melihat kebesaran perjuangan orang tua, Allah menghukumkan kepada sang anak wajib bersifat lemah lembut kepada ibu bapaknya dalam berbagai macam dimensi kehidupan.
Al-Quran adalah kitab pegangan umat Islam yang sangat sempurna, semua hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan ini telah tercantum dalam kitab yang mulia itu, dan tak terkecuali tentang haqqul awlad ‘alal walid dan haqqul walid ‘alal awlad (hak anak terhadap orang tua dan hak orang tua terhadap anak). Selama ini orang tua kebanyakannya hanya menuntut haknya saja, hak minta dihormati , hak minta ditaati, hak minta dikasihi oleh anak-anaknya. Para orang tua kelihatannya terlena dalam memahami makna birrul walidain dengan pemahaman yang sempit, menurut mareka anak wajib tunduk, patuh  dan taat kepada mereka dan anak wajib menerimanya.     
Permasalahan semacam ini kelihatannya sudah menjadi rahasia umum, sering terjadi perbedaan pendapat antara orang tua dan anak. Dan yang sering menjadi korban “power” birrul walidain adalah anak. Doktrin orang tua terhadap anaknya bahwa anaknya senantiasa wajib taat terhadap mereka berdua. Anak tidak diperbolehkan untuk protes apapun yang akan dibebankan kepadanya yang sebenarnya siapapun saja punya pilihan masing-masing salam menentukan mana yang lebin baik.
Kalau anak berani protes maka atas nama “power” birrul walidain, orang tua berkata: ” Kamu akan menjadi anak yang kualat berani membantah orang tua”.
Apakah benar yang dimaksud Al-quran semacam itu? Tidak ada diskusi dan musyawarah dengan anak dalam mengambil sebuah keputusan, yang akhirnya keputusan itu membuat anak terbebani dan kecewa, pada akhirnya kekecewaan itulah penyebab anak berani dengan orang tuanya baik dengan tingkah laku atau perkataan.
                  Menurut Mahmud Mahdi Al Istanbuli dalam bukunya “Mendidik Anak Nakal” katanya: “Lemah lembutlah terhadap anakmu dan bantulah dia untuk mentaatimu, mengoreksi kekurangannya dan memperbaiki kesalahannya janganlah engkau bersikap keras dan kasar terhadapnya”.[4]
Seharusnya orang tua bersikap lemah lembut dalam bertutur dan mereka seharusnya lebih bijak dalam mengambil suatu keputusan yang nantinya keputusan itu akan membawa anak bisa sukses mengarungi kehidupan dunia ini, dan anak sanggup untuk mentaati keputusan orang tuanya,  mestinya dengan tidak berat sebelah yang dibebankan kepada anak.. Dan keputusan itu  kiranya baik untuk semua pihak karena keputusan itu menyangkut nama baik suatu keluarga.
Namun ada kebiasaan orang tua selalu otoriter terhadap  anak apalagi dalam masalah pendidikan dan perjodohan. Padahal masalah pendidikan sangat urgen dan sangat prioritas untuk mengarungi kehidupan di dunia ini, dan juga sebagai bekal kehidupan akhirat kelak. Apalagi ketika berbicara masalah perjodohan contohnya pada sebagian masyarakat Madura masih kental dengan hal itu karena dengan berbagai alasan yang diungkapkan, seolah-olah orang tua lebih   mengetahui nasib anaknya daripada anaknya sendiri, padahal anaklah yang menjalani hidupnya. Orang
tua terkadang menginginkan naknya sesuai dengan keinginannya, sehingga secara psikologis perkembangannya menjadi terhambat. Apa yang dikira baik bagi anak, belum tentu demikian kenyataannya, perlu pertimbangan yang benar-benar tidak berat sebelah dan benar-benar memihak kepentingan anak.
                  Orang tua berfungsi sebagai pendidik bukan sebagai seorang dogmatis dan provokatif, yang maunya menang sendiri. Berangkat dari sini, kiranya perlu mencari pencerahan baru melalui pemikiran-pemikiran baru pula dari para ilmuan yang telah menggeluti dunia keilmuan tersebut dan kita realitakan pada permasalahan anak kita saat ini. Atas pemahaman terhadap perkembangan psikologis dan karakter anak, agar apa yang dilakukan orang tua tidak sia-sia atau bahkan menghambat perkembangan psikologis anak.[5] Sekarang yang menjadi persoalan adalah, di mana letak relevansi pemahaman terhadap kepribadian anak dengan konsep birrul walidain? Yang mana Birrul walidain adalah sebuah konsep yang harus dikaji ulang. Dikaji ulang, dalam arti, meluruskan makna birrul walidain agar tidak digunakan secara semena-mena oleh para orang tua.
Maka dari itu dalam penulisan ini dengan bertitik tolak pada ayat birrul walidain dengan kajian dasar penafsiran Al-Maraghi yang dikorelasikan dengan pendidikan anak sebagai timbal balik untuk menemukan keseimbangan keduanya. Hal ini perlu dilakukan mengingat birrul walidain sering disalah pahami sebagai konsep yang berat sebelah. Banyak orang tua yang melakukan tindakan otoriter atas nama birrul walidain. Ini bukan hanya berlawanan dengan konsep pendidikan anak, tetapi juga berlawanan dengan makna birrul walidain itu sendiri. Sehingga sering terjadi kehancuran masa depan anak akibat keputusan orang tua yang keliru dan dogmatis tanpa adanya musyarawah keluarga dalam mengambil sebuah keputusan yang benar-benar telah dipertimbangkan baik buruknya. Beranjak dari permasalahan ini penulis tertarik sekali untuk mengkaji ayat yang membahas tentang birrul walidain dan relevansinya terhadap konsep pendidikan anak.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang jadi pokok pembahasan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
      1. Bagaimana Konsep Birrul Walidain?.
      2. Bagaimana Konsep Pendidikan Anak?
      3. Di mana letak Relevansi Birrul Walidain dengan Pendidikan Anak?
C. Tujuan Penelitian.
                  Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
      1. Untuk mengetahui konsep birrul walidain.
      2. Untuk mengetahui konsep pendidikan anak.
      3. Untuk mengetahui relevansi birrul walidain dengan pendidikan anak.
D. Kegunaan  Penelitian
Manfaat atau nilai guna yang bisa diambil dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk memperluas cakrawala penulis dalam memahami makna birrul walidain yang sangat meresahkan para remaja serta sebagai sumbangan bagi kepentingan  ilmiah.
2. Sebagai bahan informasi bagi mareka yang sudah mempunyai anak atau mareka yang akan menjadi calon bapak atau ibu bagi anak-anak mareka nantinya.
3. Jika ditemukan konsep baru sebagai konsekuensi dari kajian ini, berarti penulis telah turut-serta dalam menyumbangkan ide terhadap kemajuan ilmu pendidikan, atau paling tidak penulis telah ikut menambah koleksi literatur ilmu pendidikan, khususnya bagi Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah (STIKA), dan bagi lembaga pendidikan di Indonesia pada umumnya.
E. Alasan Memilih Judul
Ada beberapa alasan yang mendasari penulis dalam memilih judul ini yaitu sebagai berikut:
1.       Alasan Obyektif
a.       Kata-kata wajib patuh dan taat.terhadap orang tua yang dalam hal ini para orang tua selalu mengkaitkannya dengan kata birrul walidain, untuk meluluhkan hati anaknya agar mau menurut apa kata mareka. Dan sang anak biasanya takut dan menurut kepada mareka kalau mendengar kata birrul walidain, sekalipun hati mareka kecewa dan berontak, bahkan ada yang berani melawan baik dengan kata-kata atau tingkah laku.
b.      Kata birrul walidain adalah sebuah ‘power’ yang amat istemewa, yang diberikan Allah kepada dua orang suami istri yang sudah mempunyai anak dengan tujuan agar sang anak mengetahui hak dan kewajibannya kepada kedua orang tua mareka. Akan tetapi kebiasaan yang terjadi adalah orang tua selalu menuntut sang anak supaya patuh dan taat kepada perintah mereka berdua, tanpa memikirkan apa yang tersirat dari kata birrul walidain tersebut. Padahal kalau diperhatikan kata birrul walidain tersebut bukan hanya sang anak yang diwajibkan taat kepada orang tua mereka, akan tetapi yang sebenarnya menyuruh orang tua agar lebih bijak dalam mengambil keputusan.
2.      Alasan Subyektif
             Biasanya orang tua yang pernah mengecap dunia pendidikan, mempunyai wawasan yang banyak dan pergaulan yang luas mereka terhadap anak-anak mereka terlihat akrab, berdiskusi bersama kalau ada masalah baik masalah keluarga maupun masalah pribadi sang anak, sehingga keputusan orang tua sama dengan keputusan sang anak, dan terlihat tidak ada pemaksaan terhadap anak-anak mereka.
F. Metode Penelitian
Winarno Surachmad mengatakan, bahwa metode merupakan cara utama yang digunakan dalam mencapai tujuan.[6] Oleh karenanya, ketepatan dalam menggunakan metode penelitian merupakan syarat utama dalam me-ngumpulkan data. Apabila seseorang mengadakan penelitian dan metode yang digunakan kurang tepat, maka ia akan mengalami kesulitan bahkan akan menghasilkan hasil yang tidak sesuai dengan harapan.
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini penulis lakukan mengingat obyek atau fokus yang diteliti dan dikaji adalah suatu teori. Karena penelitian ini bersifat teoritis konseptual, tentu saja penulis menggunakan penelitian pustaka, yaitu studi literatur dari berbagai rujukan seperti Buku, Kamus, Ensiklopedi dan lain sebagainya.
Jenis studi ini merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama yang dimaksudkan untuk menggali teori-teori dan konsep-konsep yang telah ditentukan oleh para ahli terlebih dahulu, mengikuti perkembangan penelitian di bidang yang akan diteliti, memperoleh orientasi yang luas mengenai topik yang dipilih, dengan memanfaatkan data yang sudah tersedia.[7]
2. Sumber Data
            Dilihat dari kemungkinan pengukurannya, data ini dapat diklasifikasikan sebagai data kualitatif, yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung. Oleh karena itu, penulis akan menilainya dengan analisis yang sesuai dengan data. Sedangkan sumber datanya diambil dari karya-karya yang membicarakan masalah birrul walidain dan pendidikan anak, seperti karya Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi; Al Qur’an dan Terjemahnya; Hery Noer Aly dan Munzier S., Watak Pendidikan Islam; Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru; Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Mendidik Anak; dan karya-karya lainnya yang membicarakan masalah birrul walidain dan pendidikan anak.
3. Teknik Pengumpulan Data
            Untuk menghasilkan data yang runtut dan sistematis, maka penulis menempuh beberapa langkah sebagai berikut :
a. Koleksi data, yaitu mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan sesuai dengan data penelitian.
b. Seleksi data, yaitu memilih dan mengambil data yang terkait dengan penelitian.
c. Klasifikasi data, yaitu menempatkan data sesuai dengan sub-sub dan aspek aspek bahasan.
d. Interpretasi data, yaitu memahami, untuk kemudian menafsirkan data yang telah dikumpulkan, diseleksi, dan diklasifikasikan.
4. Analisis Data
Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya yang dilakukan penulis adalah menganalisis data melalui metode-metode sebagai berikut :
a.    Metode Deskriptif Analisis
Metode deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan objek atau subjek yang diteliti sesuai apa adanya, dengan tujuan menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek yang diteliti secara tepat.[8] Metode ini dipergunakan untuk mendeskripsikan tentang tafsir ayat birrul walidain relevansinya dengan konsep Pendidikan anak.
b.    Metode Content Analysis
Content analysis adalah metode studi dan analisis data secara sistematis dan obyektif.[9] Dengan metode ini diharapkan bisa mengeksplorasi data sebanyak-banyaknya dengan berpijak pada objektivitas yang sistematis.
G. Batasan Istilah Judul
Untuk menghindari salah pengertian terhadap judul di atas maka penulis merasa perlu mengemukakan penegasan judul agar mudah dipahami oleh para pembaca sebagai berikut:
1. Studi
Sebagiamana dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, kata "studi" mempunyai arti penyelidikan yang kritis, hati-hati dan penuh perhatian; kajian; telaah.[10]
           


2. Tafsir
                        Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari akar kata al-fasr (f, s, r) yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak.[11]
   3. Birrul Walidain
               Di dalam kamus Bahasa Arab birrun asal katanya بر- يبر- برا- برة yang artinya taat berbakti, bersikap baik – sopan.[12] Sedangkan walidain dalam kamus Bahasa Arab berasal dari kata الوالد di-tatsniah-kan الوالدان yang artinya ayah dan ibu.[13] Yang dimaksud dengan birrul walidain adalah berbakti kepada kedua orang tua.
4. Relevansi
            Di dalam kamus Bahasa Indonesia artinya hubungan atau kaitan.[14] Yang dimaksud relevansi dalam penelitian ini adalah hubungan atau kaitan antara birrul walidain dengan pendidikan anak.
5. Konsep
         Kata "konsep" mempunyai arti rancangan, pemikiran yang umum, ide atau pendapat yang diabstrakkan melalui peristiwa nyata.[15]
6. Pendidikan
                     Prof. Dr. Omar Muhammad Al-Toumi Al-Syaibani, memberikan definisi bahwa pendidikan adalah pengubahan tingkah laku yang diusahakan melalui proses dan usaha pendidik, baik pada tingkah laku individu dan pada kehidupan pribadinya atau pada kehidupan masyarakat dan alam sekitar atau ada proses pendidik sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai proporsi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.[16]
7. Anak
                     Dalam kamus besar bahasa Indonesia anak diartikan sebagai manusia yang masih kecil.[17] Sementara dalam salah satu buku dijelaskan, anak sebagai mahluk lemah yang membutuhkan bimbingan dan dorongan di dalam semua kegiatan serta merupakan generasi penerus bangsa  dan sumber bagi pembangunan.[18]
                     Yang penulis maksud dengan pendidikan anak di atas adalah strategi membimbing anak dengan benar. Jadi yang dimaksud dengan judul di atas adalah kesesuaian untuk melihat hubungan antara berbakti kepada kedua orang tua dengan pendidikan anak.


H. Sistematika Penulisan
Sistematika pembahasan adalah urutan-urutan pembahasan dari bab awal sampai bab terakhir, yang merupakan kesatuan yang utuh dan sistematis. Dalam skripsi ini secara keseluruhan terdiri dari 4 bab yang sangat erat kaitannya dengan bab lainnya, dengan perincian  sebagai berikut:
BAB I : Adalah Pendahuluan. Dalam bab ini dipaparkan latar belakang masalah dan penegasan judul, perumusan masalah, alasan memilih judul, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, metode penelitian dan terakhir sistematika penulisan.
BAB II: Merupakan pembahasan tentang konsep birrul walidain yang meliputi konsep birrul walidain dalam surat Maryam ayat 14 dan 32, dan hak dan kewajiban orang tua dan anak. Kemudian dilanjutkan dengan konsep pendidikan anak, yang meliputi pengertian pendidikan anak, signifikansi keluarga dalam pendidikan anak, periodesasi perkembangan dan karakter anak, dan strategi mendidik anak.
BAB III: Berisikan upaya penarikan relevansi konsep birrul walidain dan pendidikan anak.
BAB IV: Adalah penutup, dengan memberikan kesimpulan dari hasil penelitian ini dan saran-saran yang mungkin dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi yang membutuhkan, serta lampiran lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini.



               [1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota Surabaya, 2004), hal. 427.

               [2] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz 15, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1999), Hal. 39.
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an ………hal. 654  .
[4] Mahmud Mahdi Al-Istanbuli , “Mendidik Anak Nakal”, (Jakarta: Bulan Bintang), hal. 61.  
[5] Don Fleming dan Mark Ritts, Mengatasi Prilaku Negatif Anak, (Jogjakarta: Penerbit Think), Hal. 311.
[6] Winarno Surachmad, Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode dan Teknik (Bandung: Tarsito Rimbun, 1990), hal. 131
[7] Masri Singarimbun dkk., Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3S, 1982), Hal. 72
[8] Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya, (Bumi Aksara, Jakarta, 2007), hal. 4
 [9] Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kwalitatf, (Yogyakarta : Raka Serasin, 1991), Hal. 41
[10] Peter Salim dkk, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta : MEP, 2002), Hal. 1465
[11] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Jakarta: Litera AntarNusa, 2009),Hal. 455.
[12] A.W. Munawwir, Kamus Al-MunawwirArab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), hal. 74.
[13] A .W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir……..Hal. 1580.
[14] Peter Salim dkk, Kamus Bahasa……Hal. 666.
[15] Ibid, ………, Hal. 764.
[16] Omar Muhammad al-Toumi al-Syaibani, “Falsafah Pendidikan Islam, (Terjemah Falsafatuttarbiyah al-Islamiyah)" (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), Hal. 398-399.
[17] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), Hal. 13. 
[18] Nurul Chomaria, Menjadi Ibu Penuh Cinta, (Solo: Pustaka Iltizam, 2008), Hal. 7.


BAB II
AYAT BIRRUL WALIDAIN DALAM TAFSIR AL-MARAGHI
DAN KONSEP PENDIDIKAN ANAK

A.    Pandangan Al-Maraghi Tehadap Ayat Birrul Walidain dalam Surat Maryam Ayat 14 dan 32
           
Cara pandang terhadap suatu permasalahan seringkal terjadi perbedaan, dan salah satunya Al-Maraghi dalam surat Maryam ayat 14 dan 32 memberkan nterpretasi terhadap dua ayat yang menggunakan istilah “birrul walidain” tersebut secara langsung, Kedua ayat tersebut berbunyi:
 وَ بَرًّا بِوَالِدَيْهِ وَلمَ ْيَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا.

“Dan banyak berbakti kepada kedua orang tuannya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka”.(QS. Maryam (19: 14)[1]
 وَ بَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِيْ جَبَّارًا شَقِيًّا.

“Dan berbakti kepada ibuku, dan dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka”. (QS. Maryam (19:32)[2]
Yang dimaksud dengan kedua ayat tesebut menurut Al Maraghi adalah banyak kebaktian dan kebaikannya kepada kedua orang tua disamping jauh dari berlaku durhaka kepada keduanya, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan.[3] Penafsiran Al Maraghi tersebut senada dengan Alquran surat Al Isra’ ayat 23 sebagai berikut:
وَقَضى رَبُّكَ اَلاَّ تَعْبُدُوْا اِلاَّ اِيَّاهُ وَبِالْوَاِلدَيْنِ اِحْسَانًا, اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَا اَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَّهُمَا اُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْ هُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيْمًا.

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaknya kamu berbuat baik pada ibu bapak dengan sebaik-baiknya, jika salah seorang diantara kedunya sampai berumur lanjat dalam pemeliharaanmu. Maka jangan sekali-kali kamu mengatakan; “ah”, dan jangan kamu membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia”.(QS. Al Isra’/17: 23)[4]

            Termasuk mendurhakai kedua orang tua adalah tidak melaksanakan atau mengabaikan apa yang dikehendaki keduanya. Tapi sebaliknya jika anak berbuat baik dan mentaati keduanya maka anak tersebut termasuk kepada anak yang berbakti. Dengan demikian jika keduanya atau salah seorang darinya memerintahkan anaknya dengan suatu perkara, maka wajib bagi anak mentaatinya.[5]
            Namun seiring dengan belalunya waktu, semakin tua usia seseorang maka, semakin banyak pula nikmat Allah yang selama ini telah diberkan sedikit demi sedikit akan dikurangi hingga akhirnya akan dicabut tanpa kecuali. Hal ini ditandai dengan berkurangnya kesempurnaan fisik yang selama ini telah diberikan oleh Allah. Kondisi seperti ini akan berpengaruh pada psikologis manusia, hingga terkadang membawa pada perbuatan-perbuatan yang tidak biasa.
            Berkenaan dengan hal itu Al-Quran menegaskan, ketika kedua orang tua atau salah satu dari keduanya telah berusia lanjut maka, sepantasnyalah bagi seorang anak berbuat baik kepada mereka dengan bersikap lemah lembut, tidak berkata kasar dan mempelakukan mereka dengan perlakuan yang mulia. Selain itu mendo’akan mereka adalah merupakan kewajiban anak, baik ketika mereka masih hidup ataupun ketika telah meninggal dunia. Sebagaimana Al-Quran Surat Al Isra’ ayat 24 meneruskan penjelasannya:
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَ قُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيْراً.
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: “Wahai Tuhan kami, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka mengasuhiku selagi aku kecil”. (QS. Al Isra’ (17:24)[6]

            Bersikap lemah lembut dan mendo’akan adalah kewajiban bagi seorang anak kepada kedua orang tuanya. Hal ini dikarenakan begitu besarnya jasa dan pengorbanan keduanya. Karena itu menurut Sayyid Quthb; hendaklah sikap seorang anak kepada orang tuanya merendahkan diri ketika melewati mereka dan besikap lemah lembut. Sikap ini bukan hanya diada-ada atau hanya sebagai “pormalitas”, tetapi harus terbit dari hati dan kesungguhan yang benar-benar. Maka menurut beliau inilah yang dimaksud dengan “rahmah” yaitu, memuliakan dan bersikap lemah lembut, menundukkan pandangan dan tidak memaksakan kehendak dan berusaha terus untuk memuliakan.[7]
            Tentang kedudukan ketaatan kepada kedua orang tua, Alquran surat Luqman ayat 14 menerangkan sebagai berikut:
وَوَصَّيْنَا اْلاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ اُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهَنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْلِي وَلِوَالِدَيْكَ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ.

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam masa dua tahun”. (QS. Luqman, (31: 14)[8]


Dalam ayat ini Allah menyebut jasa ibu secara terpisah dan lebih khusus, karena didalam kenyataannya seorang ibu mempunyai beban yang jauh lebih berat dari pada seorang ayah. Seorang ibulah yang mengandung, yang kesusahannya digambarkan oleh Alquran dengan “susah di atas susah” atau keadaan payah yang bertambah-tambah. Kemudian setelah masa mengandung selama sembilan bulan, kurang lebih, tibalah kesusahan yang kedua yaitu, peristiwa melahirkan. Pada masa ini hidup dan mati seorang ibu dipertaruhkan. Tidak hanya sampai disitu, tugas seorang ibu belumlah berakhir, ia dituntut untuk memelihara sang anak, menyusuinya paling sedikit dua tahun lamanya.
            Tiga masyaqqah (kepayahan dan kesusahan) yang dirasakan oleh seorang ibu tanpa dirasakan sepenuhnya oleh seorang ayah. Mulai dari masa mengandung dengan waktu yang tidak cukup pendek, kemudian peristiwa melahirkan, yang hidup dan matinya dipertaruhkan sampai pada menyusui dan memelihara kiranya cukup untuk menjadikan seorang ibu dilebihkan dalam hal penghomatan pemuliaan dari sang anak. Tiga masa yang dilalui oleh seorang ibu menjadikan Rasul yang amat bijaksana menetapkan tiga tingkatan yang dimiliki oleh seorang ibu diatas seorang ayah dalam hal penghormatan dan pemuliaan.
            Kebijaksanaan seorang Rasul itu diabadikan dalam sebuah hadits yang bercerita, ketika datang seorang laki-laki kepada Nabi menanyakan tentang siapakah yang terlebih dahulu untuk dihormati dan ditaati, maka Beliau menjawab ibunyalah yang harus didahulukan. Peristiwa ini diabadikan sebagaimana yang diriwatkan oleh Bukhari dan Muslim berikut :
عَنْ اَبِىْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : مَنْ اَحَقُّ النَّاسِ ِبحُسْنِ صَحَابَتِي, قَالَ : اُمُّكَ, قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : اُمُّكَ, قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : اُمُّكَ, قَالَ ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : اَبُوْكَ.

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah, kemudian ia bertanya: “Siapa manusia yang lebih berhak dengan hubungan baikku ?”. Rasulullah menjawab: “Ibumu!”. Orang itu bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Rasulullah menjawab: “Ibumu!”. Kemudian orang itu bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Rasulullah menjawab: “Ibumu!”. Kemudian ia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Rasulullah menjawab: “Bapakmu!”.[9]

Kemudian dalam konteks ketaatan atau batas kepatuhan kepada kedua orang tua Alquran Surat Luqman ayat ke-15 menjelaskan sebagai berikut:
وَاِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى اَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا وَاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّ ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّأُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ.

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku dengan sesuatu yang kamu tidak ada pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya didunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaku, kemudian hanya kepada-Ku-lah kalian kembali. Maka kuberitakan kepada kalian apa-apa yang telah kalian kerjakan”. (QS. Luqman, 31: 15)[10]

            Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa ketaatan kepada kedua orang tua bukanlah hal yang mutlak. ketika ketaatan itu sudah mengarah kepada hal-hal yang melanggar undang-undang Allah atau maksiat kepada-Nya, maka bentuk ketaatan itu tidaklah pada tempatnya lagi. Ketaatan yang mutlak itu hanya milik Allah, kepada-Nya-lah segala ketaatan mesti harus dipersembahkan.
Ketaatan kepada orang tua dibenarkan, seperti halnya dalam bentuk ketaatan orang kepada siapapun apapun selain Allah. Dibenarkan dilakukan hanya dengan syarat, bahwa ketaatan itu menyangkut kebenaran dan kebaikan bukan kepalsuan dan kejahatan. Karena itulah bentuk ketaatan anak kepada orang tua dapat dilakukan jika meyangkut suatu hal yang benar dan baik.[11]
Dengan demikian, jika ketaatan dengan orang tua tidak sampai menjerumuskan sang anak kepada perbutan yang tidak baik, tidak layak dilakukan atau dilarang agama, maka ketaatan itu menjadi kewajiban kepada anak tehadap orang tuanya. Sebaliknya, ketika ketaatan itu sudah melenceng dari ajaran agama, yaitu; “hal-hal yang kamu tidak ada pengetahuan tentangnya, maka ketaatan itu harus ditanggalkan. Namun walaupun demikian seorang anak tidak boleh menjauh dari orang tuanya atau memusuhinya, sekalipun kedua orang tuannya itu non Islam. Maka yang terlebih pantas, sejalan dengan pesan ayat diatas adalah mempergauli keduanya di dalam urusan keduniaan dengan pergaulan yang diridhai agama.
B. Hak dan Kewajiban Orang Tua dan Anak
            Hak dan kewajiban merupakan dua kata yang menjadikan keduanya sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ketika ada kewajiban tentu ada hak, ketika hak diambil, maka terlebih dahulu kewajiban harus ditunaikan. Ketika kewajiban tidak ditunaikan maka seseorang tidak berhak untuk menuntut haknya, demikian juga sebaliknya. Keduanya akan berjalan serasi dan harmonis apabila tidak ada kecurangan dan ketimpangan.
            Dalam hubungan antara orang tua dan anak ada hak dan kewajiban yang harus ditunaikan oleh masing-masing komponen. Ketika anak diperintahkan untuk bakti kepada kedua orang tuanya (birrul walidain), ini merupakan kewajiban anak terhadap orang tuanya, dan sekaligus juga merupakan hak orang tuanya. Hak orang tua, kerana mereka telah memeliharanya sewaktu ia masih kecil hingga sampai saat ini, dan juga merupakan kewajiban orang tua sebagai konsekuensi sebuah perkawinan dan perintah agama.
            Hak dan kewajiban yang tidak tersalurkan secara seimbang akan “menghancurkan” hubungan kedua belah pihak. Demikian pula halnya dalam hubungan orang tua dan anak. Disinilah kedua belah pihak hendaknya dapat mensejajarkan peran masing-masing hingga keharmonisan dapat tercapai. Dalam hal ini perlu pengetahuan yang lebih atau ekstra untuk mengetahuai hak dan kewajiban orang tua dan anak untuk menginginkan waladan barran biwalidaihi (seorang anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya), terutama dalam koteks yang secara langsung berhubungan dengan kedua ayat di atas ataupun juga yang tidak langsung.
Merujuk kepada penafsiran sub bab terdahulu, di mana birrul walidain yang terdapat pada surat Maryam ayat 14 lebih menonjolkan keunggulan sifat-sifat Yahya. Makna birrul walidain yang terdapat pada ayat ini dimaksudkan untuk menjelaskan keutamaan berbakti kepada orang tua. Birrul walidain hanya merupakan salah satu sifat utama yang dimiliki Yahya.
Kalimat dalam ayat ini berbentuk kalimat berita. Allah bermaksud menjelaskan bagaimana keunggulan sifat-sifat yang dianugerahkan-Nya kepada hamba-Nya yang bernama Yahya. Ayat ini tidak berbentuk perintah, akan tetapi di sana terdapat anjuran secara tersirat untuk berbakti kepada orang tua.
Karena keunggulan sifat-sifat Yahya itu merupakan anugerah dari Allah, maka kata birrul walidain di atas harus sejalan dengan ketentuan Allah. Di sini terlihat bagaimana birrul walidain (ketaatan kepada orang tua) tidak boleh melampaui batas-batas ketentuan Allah.[12]
            Lebih jauh lagi, mengingat ketaatan kepada orang tua harus sejalan dengan ketentuan-ketentuan Allah, maka kerangka kerja birrul walidain harus ditujukan untuk mengabdi kepada-Nya. Dalam tataran inilah terjadi keseimbangan tuntutan antara hak dan kewajiban anak dengan hak dan kewajiban orang tua. Anak tidak boleh hanya menuntut haknya saja sementara kewajibannya kepada orang tuanya tidak ditunaikan. Begitupun sebaliknya, orang tua tidak berhak menuntut apa-apa dari anaknya selama kewajibannya belum ditunaikan.
            Husin Naparin menjelaskan, Umar bin Khattab sebagai Khalifah pada zaman dahulu pernah didatangi oleh seorang ayah yang melaporkan kedurhakaan dan kebandelan anaknya terhadapnya. Anak tersebut dihadirkan di majelis khalifah, dan Umarpun berbincang panjang lebar menasihati dan memperingatinya betapa berat dosa dan siksa yang akan dipikul oleh seorang anak yang durhaka. Setelah selesai Umar bernasihat yang juga dihadiri oleh orang tua anak itu, sang anakpun angkat bicara bertanya kepada Umar, “Wahai Khalifah yang Mulia, kalau tadi tuan telah memaparkan kepadaku tentang kewajibanku sebagai anak kepada orang tua, aku bertanya adakah kewajiban orang tua terhadap anaknya?” Umar menjawab: “Ya, ada”. Anak itu bertanya kembali: “Apa itu, wahai khalifah?” Umar menjawab dengan singkat: “Kewajiban orang tua terhadap anak ialah memilih calon ibunya dari wanita baik-baik, memberikan nama yang baik dan mengajarkan Al Kitab (maksudnya Al-Qur’an bacaan dan isinya)”.
            Mendengar yang demikian rupanya sang anak bicara kembali: “Wahai khalifah, ayahku tidak berbuat satupun di antara yang tuan sebutkan itu, ibuku seorang budak orang Majusi, aku diberi nama Ju’alan (artinya kelelawar jantan), dan satu hurufpun ayahku tidak pernah mengajarkan kepadaku tentang Al-Qur’an”.
Mendengar jawaban sang anak itu, Umar berpaling kepada orang tuanya dengan wajah memerah berkata: “Wahai seorang laki-laki, anda datang kepadaku mengadukan kedurhakaan anakmu, sedang anda sendiri telah berbuat durhaka terhadapnya sebelum ia durhaka terhada anda”.[13]
            Di dalam riwayat lain dinyatakan,
حَقُّ اْلوَلَدِ عَلَى وَالِدِهِ أَنْ يُحْسِنَ اسْمَهُ وأَدَّبَهُ وَأَنْ يُعَلِّمَهُ اْلكِتَابَةَ وَالسِّبَاحَةَ وَالرِّمَايَةَ وَأنْ لاَيَرْزُقَهُ اِلاَّطَيِّبًا وَأَنْ يُزَوِّجَهُ اِذَا أَدْرَكَ

“Hak anak terhadap orang tuanya adalah, hendaklah ia (orang tua) membaguskan namanya dan mengajarkannya sopan santun, mengajarkan menulis, berenang, memanah, memberikan nafkah yang baik, dan mengawinkannya jika ia telah baligh”. (H.R. Al Hakim).[14]
            Dari hadis di atas, dapat disimpulkan beberapa kewajiban orang tua terhadap anaknya, yaitu: 1) membaguskan namanya; 2) mengajarkannya sopan santun; 3) mengajarkannya menulis; 4) mengajarkannya berenang; 5) mengajarkannya memanah; 6) memberikan nafkah yang baik dan halal; dan 7) mengawinkannya jika ia telah baligh (dewasa).
            Kutipan ini menegaskan bagaimana antara hak dan kewajiban harus dijalankan secara seimbang. Anak punya hak dan kewajiban kepada orang tuanya, begitupun dengan orang tua punya hak dan kewajiban kepada anaknya. Hilangnya keseimbangan antara hak dan kewajiban mengakibatkan ketidakseimbangan hubungan antara yang satu dengan yang lain.
            Birrul walidain merupakan istilah yang perlu dimaknai ulang secara proporsional. Sebenarnya kewajiban orang tua dan hak anak adalah di mana orang tua setelah memberikan nama yang baik, memberikan pendidikan yang terbaik, memberikan makan dan minum dari barang yang baik dan halal, dan yang terpenting adalah bersikap bijaksana dalam mengambil keputusan. Setelah semua itu terlaksana barulah dapat dituntut hak orang tua dan kewajiban anak. Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa kewajiban anak adalah berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tuanya.
Orang tua harus lebih memahami apa yang tersembunyi atau tersirat dari makna birrul walidain. Sebenarnya power birrul walidain yang dititipkan Allah kepada orang tua dan merupakan hak mutlak orang tua bukan tanpa alasan. Allah menganggap suami-istri yang sudah mempunyai anak sudah lebih dewasa dalam berpikir dan berbuat dan mampu bersikap bijaksana dalam mengambil keputusan, termasuk dalam menentukan arah dan tujuan anak.
            Beralih kepada fenomena yang akhir-akhir semakin marak justru menekankan pada ketaatan anak kepada orang tuanya. Di mana-mana di dalam majelis pengajian, ketika berbicara masalah hak dan kewajiban orang tua dan anak secara timbal balik, selalu yang ditonjolkan adalah kewajiban anak dan hak orang tua. Tuntutan semacam itu memang tidak salah, tetapi tidak sepenuhnya benar.
            Masih banyak hal lain yang perlu diperhatikan, seperti masalah pendidikan anak. Mendidik anak adalah kewajiban orang tua, yang berangkat dari sini barulah orang tua boleh menuntut kewajiban anak. Jika selama hidupnya anak tidak pernah diajarkan masalah hak dan kewajiban, bagaimana mungkin dia akan menunaikan kewajibannya.
            Sebagaimana dikemukakan oleh Husin Naparin, bahwa anak menjadi durhaka lantaran orang tuanya tidak memenuhi apa-apa yang menjadi kewajibannya. Artinya, pada hakikatnya ketaatan anak terhadap orang tuanya tergantung kepada apakah kewajiban orang tua sudah dipenuhi meskipun tidak mutlak demikian. Yang ingin ditekankan di sini adalah, hubungan anak dan orang tua dalam konteks hak dan kewajiban tidak lepas dari konsep keseimbangan.[15]
            Hal senada juga dikemukakan oleh Nurcholish Madjid. Menurutnya, ketaatan anak kepada orang tua itu, seperti halnya ketaatan kepada siapapun, dibenarkan untuk dilakukan hanya dengan syarat bahwa ketaatan itu menyangkut kebenaran dan kebaikan, bukan kepalsuan dan kejahatan. Dalam hal ini, Nurcholish Madjid menjelaskan secara konstekstual.[16] 
            Anak adalah amanat Allah dan sudah menjadi tanggung jawab orang tuanya untuk mendidiknya dan mengisi fitrahnya dengan akhlak, iman, dan amal saleh. Sebagaimana dinyatakan bahwa manusia terlahir dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang akan mengisi fitrah itu.
            Sementara ketika berbicara masalah keharusan atau kewajiban berbuat baik kepada orang tua tidak ada batasannya, bahkan ketika orang tua itu jelas-jelas menentang kebenaran.
            Jasa orang tua, terutama ibu, terhadap anak-anaknya tidak bisa diukur dengan materi dan secara fitrah mereka mencintai anak-anaknya. Mereka menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya, walaupun terkadang salah memaknai kebaikan. Mungkin mereka mengira apa yang mereka pikir baik benar-benar baik bagi anak-anak mereka.
C. Konsep Pendidikan Anak
            1. Pengertian Pendidikan dan Pendidikan Anak
            Secara umum pendidikan berarti: “…Suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memiliki tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien”.[17] Sementara Natsir, yang dikutip oleh Azra, menyebutkan: “…Yang dinamakan pendidikan, adalah suatu pimpinan jasmani dan rohani menuju kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya”.[18]
Pengertian yang dikemukakan Natsir ini sudah meliputi proses dan tujuan pendidikan, yaitu bahwa pendidikan merupakan suatu proses untuk mencapai dan mengoptimalkan potensi yang dimiliki manusia, dengan perkataan lain, mencapai hakikat kemanusiaan. Jadi pendidikan itu diadakan demi kepentingan manusia itu sendiri.
Definisi tersebut menekankan keseimbangan antara potensi individual manusia (budi pekerti, pikiran, dan jasmani) dengan potensi sosial dan kulturalnya (alam dan masyarakat).
Menurut Noer Aly dan Munzier: “… Pendidikan…merupakan proses pengembangan sosial yang mengubah individu dari sekedar makhluk biologis menjadi makhluk sosial agar hidup bersama realitas zaman dan masyarakatnnya”.[19]
Pendidikan dalam konteks ini lebih menekankan dimensi sosial-kemanusiaan, yaitu dengan melihat hubungan antara manusia sebagai agen sosial dengan masyarakatnya.Dalam konteks pendidikan formal, pendidikan dikaitkan dengan kebutuhan hidup berbangsa dan bernegara ;
            Tujuan pendidikan sinkron dengan tujuan hidup bangsa, yaitu melahirkan individu, keluarga, dan masyarakat yang saleh, serta menumbuhkan konsep-konsep kemanusian yang baik di antara umat dalam mencapai suasana saling pengertian internasional, yaitu konsep-konsep yang sesuai dengan budaya, peradaban dan warisan umat serta pandangannya tentang alam, manusia, dan hidup.
            Di dalam undang-undang pendidikan dan pengajaran No. 12/1954, Bab II, pasal 3 dinyatakan : “ Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”.[20] Memang tidak terhindarkan kehidupan berbangsa dan bertanah air tidak lepas dari peranan pendidikan, yang berarti juga, dunia pendidikan harus menjadi salah satu prioritas pemerintah.
            Beberapa kutipan di atas menunjukkan perbedaan para tokoh pendidikan dan pemerintah dalam mendefinisikan pendidikan. Perbedaan definisi itu bukan hanya lantaran perbedaan kultural, melainkan juga perbedaan pandangan dunia (weltanschauung). Artinya, di samping pengaruh lingkungan, seseorang juga mempunyai pandangan tersendiri terhadap dunia yang terpampang di hadapannya. Yang berakibat berpengaruh pula pada pandangannya terhadap segala sesuatu termasuk tentang pendidikan.
            Dua kutipan terakhir menunjukkan pandangan tentang pendidikan dalam konteks berbangsa dan bernegara. Kembali di sini terlihat bagaimana kultur dan pandangan dunia seseorang mempengaruhi cara pandangnya terhadap dunia lain. Namun, dari beberapa definisi di atas dapat ditarik benang merah mengenai makna pendidikan, yaitu suatu proses untuk menjalani dan mencapai tujuan hidup berdasarkan potensi diri eksistensial dan konteks masyarakatnya dengan menggunakan metode tertentu yang lebih efektif dan efisien.
Pendidikan merupakan sebuah wacana dan praksis yang lebih luas dari pengajaran.
Sebagaimana dikemukakan Azra, pengajaran tidak lebih dari proses transfer ilmu: “…bukan transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya”.[21] Dengan pengertian yang dikemukakan Azra ini dimaksudkan bahwa pengjaran lebih bersifat teknis dan menciptakan manusia-manusia dengan keahlian tertentu, sehingga mereka terkungkung oleh keahliannya sendiri. Kritik Azra ini dapat juga dilacak dari definisi mengajar yang dikemukakan Sardiman; “Mengajar diartikan sebagai suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkan dengan anak, sehingga terjadi proses belajar”. Dalam konteks pengajaran, pengkondisian dimaksudkan sebagai upaya agar anak merasa senang dengan materi yang diterimanya.
            Sekarang, apa yang dimaksud dengan pendidikan anak? Dari pengertian-pengertian di atas, pendidikan anak dapat dimasukkan ke dalam bagian pengertian pendidikan secara umum, tinggal melihat konteksnya, yaitu pendidikan yang ditujukan kepada anak. Dengan demikian, pendidikan anak adalah proses mempersiapkan anak (generasi) untuk menjalani dan mencapai tujuan hidup berdasarkan potensi diri si anak dan dalam konteks masyarakatnya dengan menggunakan metode tertentu. Definisi ini dapat juga dibandingkan dengan definisi yang dikemukakan oleh Azra dan Ki Hajar Dewantara.


Lima macam nteraksi antara anak dan orang tua
  1. interaksi Fisik-materal
  2. interaksi mental-Psikologis
  3. Interaksi moral
  4. interaksi Spritual
  5. interaksi ntelektual

muhyidin, muhammad Manajemen ESQ Power. Diva press. Jogjakarta.2007.hal. 109
 
            2. Signifikansi Keluarga dalam Pendidikan Anak
            Permasalahan ini sangat mendesak untuk dibahas mengingat kedudukan keluarga sebagai pendidik pertama, dari keluargalah anak pertama kali belajar. Tujuan utama dikemukakannya permasalahan ini adalah untuk memberikan informasi dan data yang diharapkan dapat mempermudah penulis untuk menarik relevansi antara birrul walidain dan pendidikan anak.
            Selain itu, menurut Imam Barnadib, Tidak ada seorangpun yang normal jiwanya akan membiarkan anak-anaknya untuk tumbuh dengan sendirinya menjadi dewasa. Setiap pendidik tentu menghendaki anak didiknya menjadi lebih maju lagi dengan penuh tanggung jawab. Apabila kita melihat perkembangan jiwa pada anak maka seakan-akan anak itu menuntut untuk dididik. Kalau kita memikirkan kepada sang anak, maka sang anak itu mempunyai dunianya sendiri yang lain dengan dunia orang dewasa. Untuk mendidik anak dengan secepat-cepatnya maka haruslah kita mengingat tingkat-tingkat perkembangan daripada anak tersebut.[22]
            Kenyataan bahwa anak mempunyai dunianya sendiri adalah fakta yang tidak terbantahkan, tetapi jika kemudian ambisi orang tua terhadap anaknya mengalahkan cita-cita atau kecenderungan anak adalah fakta lain yang sering dijumpai. Ada semacam dua kekuatan yang tarik menarik, antara keinginan anak dan ambisi orang tua, dua kekuatan ini bekerja pada tataran struktur sehingga sering kurang disadari oleh kedua belah pihak.
            Tugas orang tua sebagai pendidik (guru) pertama adalah menyiapkan suasana keluarga yang mendukung bagi perkembangan fisik dan psikis anak. Selain itu, para orang tua agar tidak melakukan tindakan gegebah dalam mendidik anak-anaknya. Sebab pendidikan masa kecil akan menentukan sikap dan perilakunya pada masa yang akan datang. Kesalahan umum yang dilakukan oleh orang tua adalah karena mereka sayang terhadap anak-anaknya lantas mengabulkan semua permintaannya. Dengan posisi seperti ini, si anak sudah dimanja terus dipertahankan, akan berakibat pada kemunduran psikologisnya, yaitu tidak percaya diri atau selalu menggantungkan usahanya kepada orang tuanya.
            Paling tidak ada dua alasan fundamental pentingnya pendidikan anak. Pertama, anak adalah pelanjut kelangsungan hidup dan kehidupan umat manusia. Bagaimana keadaan masa depan umat manusia tergambar dari kehidupan anak-anak masa sekarang. Kedua, pendidikan pada masa kanak-kanak menentukan arah perkembangannya selanjutnya. Dengan demikian bagaimana orang tua mendidik anaknya begitulah dia akan menjadi. Sedikit menengok keluar, tantangan yang datang dari luar yang saat ini sangat membahana dan tampaknya akan terus berlanjut adalah tantangan modernitas dan globalisasi. Di tengah hiruk pikuknya modernitas dan arus globalisasi yang tidak terbendung lagi, maka setiap orang tua dituntut untuk membekali anak-anaknya dengan kesiapan fisik dan mental, keterampilan, kreativitas, dan yang lainnya yang diperlukan anak. Hal ini dimaksudkan agar mereka tidak tercerabut dari akar budaya dan agamanya atau larut dalam arus globalisasi. Globalisasi kebudayaan, misalnya, tidak hanya memberikan dampak yang positif bagi negara-negara berkembang, melainkan juga menyisakan banyak permasalahan.
Globalisasi atau universalisasi yang menjadi ciri fundamental modernitas seakan ingin menjadi satu-satunya tolok ukur kemajuan yang berlanjut kepada satu-satunya standar kebenaran. Di sinilah letak ambiguitas modernitas. Pada satu sisi, modernitas menyampaikan pesan kemanusiaan dengan membebaskan manusia dari segala bentuk dogmatisme. Tetapi pada sisi lain, ia lupa bahwa negara-negara “dunia ketiga” mempunyai pengalaman sejarah yang berbeda. Istilah dunia ketiga saja sudah merupakan permainan simbol, yaitu perlakuan diskriminatif melalui pencitraan.
            Dengan menjadikan modernitas sebagai satu-satunya ukuran peradaban, kemajuan, dan atau kebenaran, berarti modernitas ingin menciptakan paradigma tunggal serta tidak menghargai perbedaan antar manusia, antar peradaban, antar kebudayaan, antar ekonomi dan politik, dan yang lainnya.
            Tantangan yang begitu berat ini mau tidak mau harus mereka (anak-anak) hadapi, karena memang era yang mereka hadapi demikian adanya. Anak-anak (generasi mendatang) ditantang untuk mengaktualisasikan dirinya dengan berbagai strategi agar tidak terlempar dari arena pertandingan. Bagaimana mereka membuat strategi (negosiasi?), sejauh mana melakukan toleransi, atau bagaimana resistensi yang mereka lakukan.
            Salah satu tantangan terberat bagi generasi mendatang adalah masalah moralitas atau akhlak. Dengan semakin intensnya pertautan antar budaya, persentuhan politik dan ekonomi dunia, sistem informasi yang dimanipulasi, sistem epistemologi yang holistik (menyeluruh), dan sebagainya. Maka kondisi lokal seakan digugat dan dunia mulai bergeser ke arah “desa buana”. Dalam pertautan itu yang berlaku adalah logika kekuasaan. Budaya mana yang mendominasi budaya mana, tidak lepas dari relasi yang dibangunnya.
            Kembali kepada keluarga. Sebagai sebuah komunitas terkecil, keluarga memainkan peranan sentral bagi masa depan anggota-anggotanya. Oleh karena itu, perlawanan terhadap arus negatif globalisasi harus dimulai dari keluarga. Hal ini tidak dimaksudkan menyepelekan level-level lain yang turut mempengaruhi individu dan atau masyarakat. Sebagai penekanan, keluarga merupakan benteng pertama dan terakhir dalam membendung pengaruh negatif dunia luar.
            Kelanjutan dari keutamaan keluarga adalah melahirkan pribadi unggulan (syakhshiyyah thayyibah), yang dari sini kembali menciptakan keluarga unggulan (usrah thayyibah). Dari keluarga unggulan inilah diharapkan terciptanya komunitas unggulan (khairu ummah), dan target yang lebih luas lagi adalah menciptakan masyarakat unggulan (khairu mujtama’), masyarakat yang kuat, masyarakat yang punya landasan vertikal dan landasan moral yang mulia.
            Bibit yang unggul hanya berasal dari sistem pendidikan yang unggul bukan warisan genetik secara turun temurun. Bagaimana anak dididik dan siapa yang mendidiknya sangat berpengaruh pada perkembangan dan kemajuan anak berikutnya. Pada umumnya, anak-anak prasekolah berhubungan secara intensif dengan kedua orang tuanya, terutama ibunya. Karenanya, bagaimana mereka bersikap tergantung bagaimana orang tuanya bersikap. Sebab salah satu sifat anak-anak adalah suka meniru.
            Noer Aly dan Munzier mengemukakan bagaimana pentingnya peran keluarga bagi anak secara umum: Pendidikan anak sangat penting mengingat keluarga menerima anak dalam keadaan belum bisa berbicara, belum memiliki pengalaman, dan belum dapat menggunakan sarana komunikasi. Kemudian keluarga memulai proses sosial anak dari kondisi “belum berupa apa-apa”, membantunya secara bertahap untuk berinteraksi dengan segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan fisik dan sosial, serta mempersiapkannya untuk memasuki lembaga-lembaga masyarakat dan berbagai aktivitas kehidupan pada umumnya.[23]
            Kutipan di atas semakin mengokohkan posisi keluarga dalam peranannya mendidik anak. Orang tua tidak mungkin rela membiarkan anaknya terlantar tanpa bekal. Menurut Nashih Ulwan, orang tua mencintai anaknya secara fitrah. Kecintaan itu mengakar di dalam jiwa manusia, mereka punya emosi untuk memelihara, mengasihi, menyayangi, dan memperhatikan urusan anak-anaknya. Fitrah inilah yang membimbing orang tua untuk melakukan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Keluarga merupakan tumpuan harapan pertama bagi dunia pendidikan. Pendidikan merupakan alat untuk memajukan peradaban, perkembangan masyarakat, dan menciptakan generasi yang unggul yang siap bersaing dalam kancah kehidupan yang lebih luas. Tentu tidak mudah mencapai tujuan ini. Keluarga harus mempunyai kualitas nomor wahid, mental juara, punya sistem pertahanan (benteng) berupa sistem pendidikan yang mumpuni. Dari sudut kejiwaan, pendidikan anak hendaknya disesuaikan dengan kondisi kejiwaannya demi untuk merealisasikan dirinya.
            3. Periodesasi Perkembangan dan Karakter Anak
            Untuk menerapkan metode yang tepat dalam mendidik anak diperlukan pemahaman yang benar terhadap karakter anak, yang dalam konteks ini, dibedakan berdasarkan urutan umurnya. Solusi yang benar hanya berasal dari pemahaman yang benar terhadap suatu masalah, atau dengan istilah yang berlawanan, bagaimana mungkin menemukan solusi yang benar dari pemahaman yang salah terhadap suatu permasalahan. Bagaimana karakter anak pada umur tertentu, sehingga para orang tua dapat membantu dan membimbing mereka (anak-anaknya) untuk melakukan apa yang semestinya dilakukan atau membimbing mereka mengembangkan potensinya.
Para ahli psikologi dan pendidikan berbeda pendapat dalam mengkategorikan usia anak beserta karakter yang menyertainya. Meskipun demikian, penulis tetap mengkategorikan usia dan karakter yang ada pada anak berdasarkan kategori umum dan berusaha memadukan beberapa pendapat para ahli. Kategori yang penulis kemukakan meliputi empat periode, yaitu masa pra natal (sebelum lahir; dalam kandungan), sejak lahir sampai 18 bulan, 18 bulan sampai 3 tahun, dan 3-6 tahun. Pembahasan ini sengaja penulis batasi sampai usia 6 tahun saja, mengingat pada masa itu peranan orang tua begitu dominan.
            a. Masa Pra Natal (Sebelum Lahir)
            Biasanya ketika isteri sedang mengandung, sang suami turut memberikan perhatian lebih terutama terhadap masalah kesehatan. Bagaimana caranya agar si isteri mengonsumsi makanan yang begizi agar anak lahir dalam keadaan sehat dan tak kurang satu apapun. Kesehatan calon jabang bayi terletak pada kesehatan ibunya, karena itu kesehatan ibu menjadi prioritas.
            Jika ditarik sedikit ke belakang, menurut Muhammad Syafiq, ada dua prinsip primer yang mesti diperpegangi oleh suami-isteri. Pertama, pendidikan anak harus dilandasi pernikahan sebagai wujud pitrah manusia, yaitu dalam rangka beribadah (mengabdi) kepada Tuhan, dan kedua, pernikahan sudah diniatkan dan diarahkan kepada kemaslahatan pribadi dan masyarakat dengan melahirkan generasi saleh.
Dalam tradisi tertentu ada suatu tabu yang tidak boleh dilanggar oleh seorang wanita yang sedang hamil, seperti berkata kotor atau melakukan suatu perbuatan tertentu. Sementara dalam tradisi lain, diadakan upacara-upacara tertentu pada waktu tertentu pula, seperti mandi tujuh bulan yang diyakini memberikan dampak yang positif bagi perkembangan bayi sampai lahirnya nanti. Meskipun tradisi ini sudah mulai bergeser, akan tetapi masih ada daerah yang melaksanakan dan meyakininya. [24]
            Berdasarkan hasil riset, sikap seorang ibu yang sedang hamil berpengaruh perkembangan psikologis anaknya. Misalnya, ketika hamil si ibu sering bersedih, maka anaknya suka murung. Ini menandakan bahwa pengaruh orang tua terhadap anaknya sudah ada sejak dalam kandungan. Karena itu, menurut Djawad Dahlan, sebagaimana telah dikutip di atas, agar mendapatkan anak yang saleh harus dimulai dari cara pernikahan yang baik. Hal ini tidak dimaksudkan untuk membatasi waktu, melainkan agar orang tua secara konsisten melakukan apa yang seharusnya dilakukan.
            Sementara itu Agus Sujanto mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak dalam kandungan, diantaranya:
            1) Faktor keturunan
            2) Faktor kemasakan, dan
            3) Faktor penyesuaian diri.[25]
            Lebih lanjut, Agus Sujanto juga mengemukakan faktor-faktor yang dapat menimbulkan gangguan fisik pada embrio:
            1) Kurang berbahaya, seperti alkohol dan nikotin.
            2) Sedikit berbahaya, seperti kehidupan emosi si ibu, dan
            3) Sangat berbahaya, seperti kelaparan, kurang vitamin, dan penyakit kelamin.
            Secara singkat dapat dikatakan bahwa perkembangan anak selama dalam kandungan tidak boleh diabaikan baik fisik maupun psikisnya, sebab dapat memberikan dampak bagi perkembangannya selanjutnya. Jika ia diperhatikan dengan benar dan semua kebutuhannya dipenuhi, maka dia akan lahir dalam keadaan sehat, cerdas, dan secara psikologis bebas. Sebaliknya, jika ia diabaikan, akan berdampak negatif pada perkembangannya selanjutnya.[26]
            b. 0 – 18 Bulan
            Para ahli psikologi dan pendidikan, pada awalnya berpandangan bahwa di hari-hari awal kelahirannya anak belum mampu merespon benda-benda dengan matanya. Anak pada usia ini dianggap hanya mampu merespon kebutuhan fisik yang secara langsung bersentuhan dengan anggota tubuhnya, seperti ketika popoknya diganti, dimandikan, disusui, dipeluk, dan lain-lain. Sementara kebutuhan otaknya yang sedang tumbuh itu tidak jelas, maka biasanya diabaikan. Banyak cara yang dilakukan orang tua dalam mengurus bayinya justru menghambat perkembangan kecerdasannya.
            Lahirnya seorang bayi ke dunia ini dengan tidak mengetahui dan mengingat apa-apa. Remplein, yang dikutip Imam Barnadib, mengatakan bahwa anak yang baru lahir belum mempunyai kesimpulan apa-apa atas pengalaman-pengalamannya, yang disebut totalitas pengalaman yang efektif. Segalanya masih terlalu samar bagi si anak. Kesadaran anak ini sering disamakan dengan kesadaran orang dewasa yang baru bangun dari tidur lelap.
            Semakin bertambah umur anak akan semakin meningkat kecakapannya. Pada kira-kira umur 3 bulan anak sudah mulai dapat tertawa penuh. Sudah dapat diajak bersenda gurau. Maka berilah kesempatan anak kecil ini bersenda gurau dengan mengajak dia tertawa. Hal ini dapat sebagai selingan untuk menunggu jamnya untuk makan atau minum. Biasanya anak pada umur ini sudah dapat mengangkat kepalanya dan melihat sekitarnya.
            Namun, Noer Aly dan Munzier memberikan tanggapan secara lebih umum, yaitu bagaimana perkembangan bayi pada tahun pertama setelah kelahirannya:
Para ahli psikologi dan pendidikan menyatakan bahwa tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan masa paling penting bagi pembentukan kepribadian dan penanaman sifat-sifat dasar. Ini tidak berarti bahwa perkembangan anak terbatas hanya sampai pada tahun-tahun tersebut sehingga tidak ada perubahan sesudah masa itu. Yang dimaksud adalah bahwa dasar-dasar yang paling penting di dalam kehidupan anak diletakkan pada masa-masa itu.[27]
            Secara lebih detail kecakapan umum yang dimiliki anak pada tahun pertama, dapat dibagi secara tematis menjadi tiga, yaitu penguasaan badan, pergaulan anak dengan benda, dan pergaulan anak dengan manusia.
  1. Penguasaan badan
            Tahun pertama kelahirannya, anak sudah mempunyai kecakapan penguasaan badan, yaitu: Bulan pertama, anak sudah mampu mengamati mainannya; bulan kedua, anak dapat meluruskan dan memalingkan kepalanya walaupun agak susah; bulan ketiga, anak menarik-narik pakaiannya atau selimut; bulan keempat, anak mulai dapat mengangkat dan memalingkan kepalanya; bulan kelima, anak memperhatikan sesuatu sejurus dan mengamati mainan yang dipegangnya; bulan keenam, anak dapat memutar badan dar sikap tiarap ke sikap telentang; bulan ketujuh, anak dapat menggerakkan badannya ke muka, dan jika dibantu, dapat menegakkan kepalanya sambil berbaring di perutnya; bulan kedelapan, anak sudah dapat duduk beberapa menit; bulan kesembilan, anak dapat menggulingkan badannya sehingga berbaring pada perutnya; bulan kesepuluh, anak sudah dapat duduk sendiri tanpa pertolongan dan mulai merangkak; bulan kesebelas, anak mulai belajar berdiri; dan keduabelas, anak mulai belajar berjalan.
  1. Pergaulan anak dengan benda
            Selain memiliki kecakapan penguasaan badan, anak juga mempunyai reaksi terhadap benda. Bulan pertama, anak memandang termangu-mangu, ke pintu atau jendela; bulan kedua, kepalan tangannya akan terbuka bila disentuh; bulan ketiga, anak dapat menggenggam bila diberi sesuatu; bulan keempat, dia sudah bisa memegang mainannnya; belum kelima, anak dapat memegang sesuatu di dekatnya dan memasukkannya ke mulutnya; bulan keenam, anak sudah mampu memalingkan kepalanya ke arah datangnya getaran suara; bulan ketujuh, anak mulai mencoba memindah benda-benda dan mencoba meraih-raih benda meskipun tak sampai; bulan kedelapan, anak dapat memegang dua buah benda sekaligus; bulan kesembilan, anak dapat menerima benda dengan ibu jari dan telunjuknya; bulan kesepuluh, anak dapat bermain-main dengan balok-balok atau bola; bulan kesebelas, anak mulai bisa mencoba membuka kotak; dan kedua belas, anak dapat melempar atau menggulingkan bola.
  1. Pergaulan anak dengan manusia
            Pada tahun-tahun awal usianya, seorang anak juga mempunyai sikap dalam berhubungan dengan orang lain. Bulan pertama, anak sudah dapat tersenyum dan memandang orang; bulan kedua, anak dapat tertawa dengan berbunyi; bulan ketiga, anak mulai mengenal ibu; bulan keempat, anak menangis atau menunjukkan perasaan tidak senang bila diputuskan hubungannya; bulan kelima, mengikuti orang yang hilir mudik dengan pandangan matanya; bulan keenam, anak dapat mereaksi secara berlainan terhadap wajah yang ramah atau marah; bulan ketujuh, anak mulai aktif mencari hubungan dengan mengeluarkan bermacam-macam bunyi; bulan kedelapan, anak dapat bermain sembunyi muka dan mengatakan mama atau papa; bulan kesembilan, anak mulai mencoba menarik perhatian; dari bulan kesepuluh sampai kedua belas, anak mulai mengerti isyarat-isyarat , misalnya melambaikan tangan, menunjuk arah dan sebagainya
            Imam Barnadib menambahkan: “… Pada umur ini tingkah laku anak sedikit demi sedikit berubah dari sifat yang menyendiri yaitu memperhatikan sekellingnya sendiri dan alat-alat permainannya sendiri kearah mulai memperhatikan sesema teman atau pergaulan sosial…”, atau secara ringkas dapat dikatakan bahwa perhatian anak pada umur diatas satu tahun sudah mulai keluar dari dirinya.[28]
            c. 18 Bulan – 3 Tahun
            Pada masa ini tumbuh perasaan bebas pada anak dan ingin melakukan apa saja secara sendirian. Sebaliknya, kalau ia tidak bisa melakukan dan digantikan oleh orang lain, maka pada anak ini bisa timbul rasa malu dan ragu-ragu. Anak sangat egosentris dan emosional. Ia cenderung mau menjadi raja kecil, suka dongeng-dongeng dan permainan khayalan. Anak berada dalam tahap eksplorasi.[29]
            Keaktifan anak yang luar biasa ini merupakan wujud nyata dari kehausannya akan pengetahuan. Dia seakan tidak pernah merasa puas untuk terus mereguk pengalaman, tidak perduli bagaimanapun bentuknya.
            Secara lebih khusus, yaitu umur 2 tahun, kecenderungan anak untuk berteman semakin kuat. Ia mulai menjamin kerjasama dengan teman-temannya, seperti saling bertukar barang miliknya atau yang ada di tangannya. Selain itu, dia tidak mau mengerjakan pekerjaan yang lama dan dikerjakan secara terus menerus, dia akan cepat beralih dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Dari segi bahasa, dia sudah mulai dapat mengucapkan kata-kata tertentu secara agak lengkap, tingkah laku dan kata-katanya sangat menyenangkan (lucu).[30]
            Lebih lanjut Barnadib mengemukakan bahwa pandangan anak bersifat menyeluruh dan kompleks. Dari keseluruhan itu muncul bagian-bagian. Misalnya, ketika dia menggambarkan sebuah rumah, maka dia akan menggambarkan juga bagian-bagiannya yang dianggapnya penting.[31]
            Adapun sebab-sebabnya ialah karena pengamatan kanak-kanak itu bersifat keseluruhan dan merupakan kompleks kwalitet. Anak selalu melihat benda di dalam keseluruhan dan tidak menganalisanya. Dan dari lukisan keseluruhan itu muncul di dalam pandangannya bagian-bagian yang perlu baginya, apa yang menarik perhatianya, yang menimbulkan perasaan keinginannya. Atau apa-apa yang penting pada saat itu. Menggambar bagi anak adalah suatu alat dan cara pernyataan hidup rokhani yang penting. Gambar adalah merupakan “bahasa” yang kedua bagi anak.[32]
            Agus Sujanto membagi perkembangan anak pada masa ini ke dalam beberapa bagian, yaitu perkembangan motorik, perkembangan bahasa, perkembangan permainan, dan perkembangan menggambar [33]
a)      Perkembangan motorik
            Tahap-tahap perkembangan motorik anak secara umum dapat digambarkan sebagai berikut: Tahap pertama, gerakan-gerakan anak tidak disadari, tidak disengaja dan tanpa arah yang jelas; tahap kedua, gerakan-gerakannya tidak sesuai dengan rangsangan yang diterimanya; tahap ketiga, gerakan-gerakannya dilakukan secara massal, atau seluruh tubuhnya ikut bergerak; dan tahap keempat, gerakan-gerakannya disertai dengan gerakan-gerakan lain yang tidak perlu.[34]
            Perkembangan ini sesuai dengan perkembangan usianya, tetapi tidak mutlak demikian, sebab perkembangan motorik antara satu anak dengan anak yang lainnya berbeda. Karenanya diperlukan perhatian orang tuanya agar anak dapat berkembang sesuai dengan kebutuhannya.
b)      Perkembangan bahasa
            Pada usia 18 bulan sampai dua tahun, keinginan anak untuk mengetahui nama benda-benda begitu besar, sehingga semua yang menarik perhatiannya ditanyakannya. Agus Sujanto menyebutnya masa “apa itu” mengingat pertanyaan yang keluar dari mulutnya “apa itu ?” masa ini pula, anak masih mengalami kesulitan mengucapkan suatu kata, lantaran kemauannya lebih cepat dari perbendaharaan bahasanya. Dia ingin bercerita, tetapi kosa kata yang dikuasainya sangat terbatas, maka dilengkapi dengan gerakan-gerakan tangan dan kakinya.[35]
            Pada umur 2 sampai 2,5 tahun kemampuan anak untuk menyusun kata-kata semakin mendekati sempurna. Dia sudah mulai bisa menggunakan imbuhan (awalan dan akhiran), meskipun belum sesempurna orang dewasa; “Acap kali kita dengar kesalahan yang lucu dan kerap kali ia membuat kata-kata baru menurut caranya sendiri. Hal ini disebabkan karena kata yang dahulu dipergunakannya untuk menamakan sesuatu tidak memuaskan lagi baginya”.[36]
      Diatas usia 2,5 tahun, kenginan anak untuk mengetahui semakin bertambah. Pertanyaan-pertanyaannyapun terus bertambah, dan dia tidak puas dengan jawaban-jawaban pendek. Jawaban baru akan disambung dengan pertanyaan berikutnya, yang terkadang tidak terduga. Pertanyaannya tidak terduga karena dia bertanya berdasarkan pola pikirnya sendiri atau sesuai dengan pemahamannya.[37]
    c)  Perkembangan permainan
            Para ahli mengemukakan berbagai teori menganai alasan mengapa anak suka bermain, diantaranya, ada yang berpandangan bahwa anak itu bermain lantaran kelebihan energi sehingga harus disalurkan, dengan perkataan lain, permainan adalah tempat penyaluran energi anak yang berlebih. Secara beologis, anak bermain karena dia harus mempersiapkan diri dengan tenaga dan pikirannya untuk masa depannya. Anak bermain karena harus mengulang perkembangan hidup manusia yang berabad-abad secara singkat. Anak bermain karena harus melatih fungsi-fungsi jiwa dan raganya, untuk mendapatkan kesenagan di dalam perkembangannya dan dengan permainan itu anak mengalami perkembangan secara maksimal. Dengan demikian secara kejiwaan bahwa permainan merupakan kondisi anak, yang artinya, permainan merupakan ekspresi diri si anak.
  d) Perkembangan menggambar
            Menggambar merupakan salah satu cara ekpresi diri anak. Gambar yang dicoretkan oleh anak muda umur 1,5 sampai 3 tahun masi berupa coretan-coretan. Coretan-coretan yang dihasilkan anak dapat dianalisa dan dijadikan alat pembentukan watak. Dalam melakukan coretan-coretan itu, si anak melewati tiga tahapan , yaitu : Tahap pertama ; anak membuat coretan terlebih dahulu baru kemudian menyebutkan namanya ; tahap kedua, membuat coretan dan menyebutkan namanya bersamaan ; dan tahap ketiga, menyebutkan nama dahulu baru menggambar.[38]
            d. 3-6 Tahun
            Menurut Imam Barnadib :” Mulai umur 3 tahun anak sudah mulai dapat diberikan kebisaan-kebiasaan … sudah dapat menerima nasehat-nasehat atau ansuran yang baik demi orang tuanya atau pendidik yang lain … “ Artnya , anak sudah mulai bisa merespons dan menyerap informasi melalui perkataan. Hal ini tentu penting bagi terjalinnya hubungan atau kerjasama antara si anak dengan pendidik.
Perhatikan anak pada umur 3 semakin bertambah. Dia mulai ingin bermain dengan teman-teman tetangganya.[39] Sementara dari segi persepsi, anak belum dapat membedakan antara kenyataan dan khayalan. Baginya, tidak ada perbedaan antara kenyataan dan hayalan, dia tidak pernah merasa berdusta walaupun informasi yang diberikannya tidak sesuai dengan kenyataan, dan menurutnya hal itu masuk akal.[40]
            Selain itu, Anak pada umur + 3 tahun biasanya senang sekali menirukan kesibukan yang ada disekitar. Misalnya menyapu lantai, mengiris-iris di dapur, mencuci pakaian. Pada umur ini anak juga sering menanyakan hal sesuatu yang dia ingin tahu, tidak peduli ibunya sedang sibuk atau sedang berbicara dengan orang lain. Pertanyaan tersebut selalu ingin mendapatkan jawaban sekaligus pada waktu itu juga. Dan dia belum merasa puas kalau belum mengerti betul-betul.[41]
            Dari segi bahasa, perbendaharaan kosa kata anak yang berumur antara 3 sampai 6 tahun meningkat pesat dengan cara meniru orang-orang di sekitarnya. Jika orang-orang di sekitarnya, tertutama orang tuanya, menggunakan bahasa yang baik, maka anak akan melakukakan hal sama; anak dapat berbicara dengan bahasa yang benar lebih cepat.
            Mengenai kegagapan dalam berbicara hampir dialami semua anak. Hal ini mungkin disebabkan oleh pikirannya yang mendahului perbendaharaan kata-katanya. Ada juga yang berpendapat bahwa gagap ini berhubungan dengan bagian otak yang mengendalikan fungsi bicara: “…Biasanya pada orang kidal, pusat berbicara terletak di bagian kanan otak; pada orang yang menggunakan tangan kanan, pusat bicaranya terletak pada bagian otak sebelah kiri. Menurut teori ini, gagap akan hilang sendirinya bila sudah jelas anak menggunakan tangan kanan atau kiri…”
Umur antara 3 sampai 4 tahun merupakan waktu yang tepat untuk mengajari anak membaca, karena pada usia itu anak sudah siap. Secara lebih umum, yaitu antara umur 3 sampai 6 tahun, anak juga sudah siap untuk belajar bahasa kedua selain bahasa ibu: “Pada umur ini, anak bisa belajar bahasa kedua secepat ia belajar bahasa ibu dan tanpa memerlukan pendidikan formal, asal saja kesempatannya sama seperti ia belajar bahasa ibu…”[42]
            Dari segi pembentukan konsep: “…anak Anda terus menerus mengadakan pemilihan, pengkombinasian, perubahan dan penyusunan kembali semua kesan-kesan sensoris dan pengamatan-pengamatan yang diperolehnya, ketika ia mencoba mengerti dunia di sekitarnya…” Kelakuannya ini menunjukkan bagaimana dia mengolah data dan menangkap kesan dari data tersebut. Perubahan pada kelakuannya merupakan wujud dari perubahan persepsinya yang mungkin berasal dari ketidakpuasannya atas apa yang sudah diperolehnya. Agus Sujanto mengemukakan hal yang senada. Menurutnya, anak pada usia ini (3 sampai 6 tahun) adalah masa pemberontakan. Ciri-cirinya adalah:
            1) Egosentris, yaitu dia ingin agar semuanya dipusatkan kepada dirinya dan demi kepentingannya.
            2) Selalu menentang atau membantah segala permintaan, suruhan, larangan dari siapapun.
            3) Berusaha menarik perhatian.
            4) Ingin dihargai, dpuji dan tidak mau disalahkan atau dianggap tidak mampu.
            5) Menuntut kebebasan.
            6) Keberaniannya bertambah dan ketakutannya berkurang.[43]
            4. Strategi Mendidik Anak
            Setelah memahami signifikansi keluarga dan karakter anak berdasarkan urutan umurnya barulah bisa diterapkan metode yang tepat. Bagaimana dari pemahaman terhadap anak akan diterapkan pula metode yang benar sesuai dengan perkembangan psikologis anak. Meskipun hal ini tidak mutlak, setidaknya ini dapat dijadikan rujukan untuk menentukan langkah selanjutnya.
            Sebelumnya perlu dipahami bagaimana cara belajar anak, yaitu:
            a. Belajar instinktif, yaitu belajar yang berwujud berkembangannya segala kemampuan yang telah ada pada anak sejak dilahirkan tanpa bantuan dari luar. Wujud ini biasanya ada pada perkembangan motorik anak usia 1-3 tahun.[44]
            b. Belajar dari pengalaman, yaitu perbaikan dari instruktif.
            c. Belajar dari kebiasaan.
            Satu hal harus digarisbawahi yaitu bahwa perkembangan psikologis anak tidaklah sama, namun kondisi keluarga sangat mempengaruhi perkembangan psikologis anak. Artinya, hubungan antara anak sebagai bagian dari keluarga dan keluarga secara utuh bersifat komplementer (saling melengkapi). Keluarga sangat mempengaruhi kondisi psikologis anak, dan anak juga punya peran sebagai penentu masa depan keluarga.
            Pemahaman terhadap kondisi psikologis anak berarti juga pemahaman terhadap apa yang seharusnya dilakukan oleh orang tua. Orang tua merupakan organ terpenting dalam keluarga yang menentukan warna anak nantinya. Oleh karena itu, perlu adanya suatu kondisi yang mendukung bagi perkembangan anak.
            Di dalam tradisi Islam juga dikenal peranan orang tua dalam menentukan kepribadian anak. Bahwa anak terlahir dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menyelamatkannya atau menyesatkannya, yaitu dengan memberikan bimbingan sesuai dengan keyakinannya (kedua orang tua). Statement ini semakin memperkuat kutipan di atas yang menekankan pada hubungan anak dengan orang tua.
            Pada sisi lain, watak anak yang suka meniru-niru menuntut orang tua untuk memberikan teladan yang baik. Teladan yang baik akan lebih membekas pada anak daripada nasihat. Karena praktik merupakan metode yang lebih sesuai dengan kemampuan dan kecenderungan anak. Sedangkan nasihat lebih banyak melibatkan intelektualitas anak dan kurang sesuai dengan kapasitasnya.
            Dalam tataran psikologis hendaknya orang tua menciptakan metode yang kreatif untuk merangsang potensi anak. Sampai di sini terlihat jelas bagaimana hubungan antara anak dengan orang tua ataupun anak dengan kondisi keluarganya.
            Lebih lanjut, dapat dilihat bagaimana perilaku orang tua dapat berpengaruh pada sikap dan mentalitas anak. Karena itu, hal ini (perilaku orang tua) dapat dijadikan media untuk menyampaikan pesan kepada anak. Anak akan lebih mampu mencerna pesan yang demikian daripada pesan secara lisan. Misalnya, ketika orang tua bertutur kata lembut dan sopan maka anak akan lebih mudah mengikutinya, daripada orang tua yang hanya menyampaikannya secara lisan tetapi tidak memberikan contoh.
            Hal lain yang perlu kita perhatikan adalah bahwa masa kanak-kanak adalah masa bermain, karena itu permainan merupakan alat yang paling ampuh dalam mendidik anak. Cara mendidik terbaik adalah dengan memasuki dunia anak. Ini tidak dimaksudkan agar orang tua menjadi anak-anak, tetapi agar orang tua memahami dan menerapkan metode yang sesuai dengan perkembangannya. Dalam konteks ini, permainan merupakan alat yang tidak boleh diabaikan.
            Secara teoritis, menurut Imam Barnadib, alat-alat permainan yang dapat diterapkan adalah:
            a. Harus sesuai dan dapat memenuhi kebutuhan bermain. Hal ini berbeda-beda menurut sifat khusus individual, menurut tingkat umur dan kemajuan;
            b. Harus sesuai dengan kesanggupan anak. Jangan terlalu sukar dan berbahaya;
            c. Harus menghidupan auto-aktivitas anak. Anak harus mengerjakan sendiri, merubahnya, menyusun kembali;
            d. Memberikan banyak kemungkinan; pasir, tanah liat, kertas, dan lain-lain yang dapat dibuat benda;
            e. Tahan lama dan tidak membahayakan anak; dan
            f. Bermakna dan kemajuan moral (budi pekerti).[45]
            Lebih lanjut Imam Barnadib menjelaskan jenis permainan yang bermanfaat bagi anak adalah:
            a. Permainan fungsi: memuaskan melatih fungsi gerak kaki dan tangan;
            b. Permainan fiksi: menjalankan ilusi atau fantasi (perang-perangan);
            c. Permainan reseptif: menerima sesuatu untuk diolah di dalam gambaran ingatan. Misal, dongeng.
            d. Permainan konstruktif: untuk mendapatkan kepuasan dari latihan membuat sesuatu. Misal, menggambar.[46]
            Secara ringkas dapat ditarik tali simpul dalam sub bab ini, yaitu untuk dapat menerapkan strategi pendidikan anak yang tepat harus didukung oleh kondisi keluarga yang kondusif bagi perkembangan psikologis anak. Hal ini hanya bisa tercipta dengan pemahaman terhadap kondisi kejiwaan anak. Selain itu, keteladanan dan permainan merupakan alat yang paling signifikan dalam mendidik anak.





[1] Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Surabaya: Dana Karya, 2004), hal. 464.
[2] Ibid. hal. 466.
[3] Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, ter. Hery Noer Aly dkk. vol 18, (Semarang: Toha Putra 1987) hal. 62
[4] Depag RI, Al-Qur'an ..., hal. 427.
[5] Al Maraghi, Tafsir ...,  hal. 65.
[6] Depag RI, Al-Qur'an ..., hal. 428.
[7] Sayyid Qutub, Fi Dzila al-Quran vol. V (Bairut: Darul Ihyait Taratsits Zahabi, 1981), hal. 478.
[8] Depag RI, Al-Qur'an ..., hal. 654.
[9] Al-Bukhari, Shahih Bukhari vol 4 (Libanon: Muassasat Risalah, t.t) hal. 363.
[10] Depag RI, Al-Qur'an ..., hal. 654.
[11] Quraish Shihab, Pesan dan Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hal. 768.
[12] Abdul Hayy Al-Barmawi, Metode Tafsir Maudu’iy, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994), hal. 529.
[13] Naparin, Husin Fikrah, Refleksi Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan (Jakarta, el-Kahfi, 2003), hal. 232.
[14] Al Hasyimi, Mukhtar al-Ahadits al-Nabawiyah wa al-Hikam al-Muhammadiyyah, (Beirut, Dar al-Fikr, 1984). hal. 332.

[15] Naparin, Refleksi…, hal. 223.
[16] Majid, Nurchalish, Masyarakat Relijius, (Jakarta, Paramadina, 2000). hal. 212.
[17] Mustakim, Pskologi Pendidikan, (Jakarta: Rneka Cipta, 1991), hal. 432.
[18] Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2002. hal. 221.
[19]  Aly. Hery Noer dan Munzier S,  Watak Pendidikan Islam, Jakarta, Friska Agung, hal. 291
[21] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Mellenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002). hal. 293
[22] Barnadib, Sutari Imam, Pengantar Ilmu Mendidik Anak, (Yogyakarta, Isntitut Press IKIP, 1982). hal. 301
[23] Aly. Hery Noer dan Munzier S,  Watak Pendidikan Islam, (Jakarta, Friska Agung 1998), hal. 153
[24] Muhammad Syafiq, Mendidik Generasi Baru Muslim, ter. Suhadi, (Yokyakarta:Pustaka Pelajar, 2000), hal. 176.
[25] Sujanto, Agus, Psikologi Perkembangan ( Jakarta, Aksara Baru, 1986). hal. 182
[26] Ibid. hal. 120.
[27] Aly. Hery Noer dan Munzier S,  Watak Pendidikan Islam, Jakarta, Friska Agung, hal. 153
[28] Barnadib, Pengantar…, hal. 211.
[29] Sujanto, Psikologi…, hal. 387.
[30] Ibid. hal. 354.
[31] Ibid. hal. 355.
[32] Ibid. hal. 362.
[33] Ibid. hal. 367.
[34] Ibid. hal. 368.
[35] Ibid. hal. 370.
[36] Ibid. hal. 372.
[37] Ibid. hal. 376.
[38] Ibid. hal. 377.
[39] Bernadib, Pengantar…, hal. 210.
[40] Ibid. hal. 214.
[41] Ibid. hal. 232.
[42] Sujanto, Psikologi…, hal. 379.
[43] Ibid., hal. 779.
[44] Ibid. hal. 782.
[45] Bernadib, Pengantar…, hal. 236.




BAB III

RELEVANSI AYAT BIRRUL WALIDAIN DENGAN
KONSEP PENDIDIKAN ANAK

            Dalam bagian ini akan mendiskusikan relevansi konsep birrul walidain dengan konsep pendidikan anak, yaitu dengan melihat paralel-paralel atau titik temunya. Hal ini juga dimaksudkan untuk membuktikan bagaimana dan dimana posisi orang tua dan anak sehingga tidak terjadi pandangan yang berat sebelah. Untuk itu ada beberapa poin yang ingin penulis kemukakan.
A.    Pemahaman Terhadap Karakter Anak
            Berbicara masalah pendidikan tidak lepas dari unsur-unsur yang memungkinkan terciptanya pendidikan tersebut, yaitu pendidik, yang dididik, dan materi pendidikan. Dua yang pertama adalah subjek pendidikan dan yang terakhir adalah objek pendidikan. Kesalahan posisi akan berakibat fatal bagi subjek pendidikan, terutama yang dididik. Dalam konteks bahasan ini adalah anak, yaitu apakah anak sudah diposisikan sebagai subjek ataukah justru sebagai objek.
            Sering yang ditemui justru terbalik, subjek terkadang diposisikan sebagai objek. Ini bukan sekedar salah kaprah, tetapi juga merupakan kesalahan fatal. Orang tua terkadang menginginkan anaknya sesuai dengan keinginannya, sehingga secara psikologis perkembangannya menjadi terhambat. Apa yang dikira baik bagi anak, belum tentu demikian kenyataannya, perlu pertimbangan yang benar-benar tidak berat sebelah dan benar-benar memihak kepentingan anak.
            Orang tua berfungsi sebagai pendidik bukan sebagai seorang dogmatis, yang maunya menang sendiri. Berangkat dari sini perlu pemahaman terhadap perkembangan psikologis dan karakter anak, agar apa yang dilakukan orang tua tidak sia-sia atau bahkan menghambat perkembangan psikologis anak. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, di mana letak relevansi pemahaman terhadap kepribadian anak dengan konsep birrul walidain? Birrul walidain adalah sebuah konsep yang harus dikaji ulang. Dikaji ulang, dalam arti, meluruskan makna birrul walidain agar tidak digunakan secara semena-mena oleh para orang tua. Hal ini perlu dilakukan mengingat birrul walidain sering disalahpahami sebagai konsep yang berat sebelah. Banyak orang tua yang melakukan tindakan otoriter atas nama birrul walidain. Ini bukan hanya berlawanan dengan konsep pendidikan anak, tetapi juga berlawanan dengan makna birrul walidain.
            Sebagaimana dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa birrul walidain dapat diartikan sebagai ketaatan dan berbuat baik kepada orang tua. Ketaatan dibatasi oleh larangan Tuhan. Maksudnya, anak wajib taat kepada orang tua dengan syarat perintahnya itu untuk kebaikan dan tidak berlawanan dengan ketentuan-ketentuan Tuhan. Sedangkan keharusan berbuat baik kepada orang tua tidak ada batasannya, bahkan ketika orang tua jelas-jelas melawan kebenaran seperti yang terjadi pada Nabi Ibrahim.
            Fenomena ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban orang tua dan anak merupakan alasan utamanya, meskipun secara konseptual hal ini sudah banyak dikemukakan berbagai kalangan. Konsep yang dikemukakan oleh beberapa kalangan lebih banyak membicarakan masalah hak orang tua dan kewajiban anak. Akibatnya, dampak yang diberikannya tidak hanya berada dalam tataran teoritis tetapi juga praksis.
            Konsep birrul walidain bukanlah sebuah konsep yang terpisah dari konsep pendidikan anak. Sebagaimana dalam mendidik anak, orang tua perlu memahami karakter anak begitupun dalam birrul walidain. Pendidikan anak dan birrul walidain berjalan berkelindan dan saling melengkapi. Pendidikan orang tua terhadap anaknya sebelum memasuki sekolah tentu sangat membantu semua pihak terlibat dalam pendidikan anak yang bersangkutan. Maka sekali lagi penulis katakan bahwa memahami karakter anak baik dalam rangka mendidik anak ataupun menanamkan nilai-nilai birrul walidain.
            Penanaman nilai-nilai birrul walidain bukan tuntutan sosial semata, lebih dari itu, harus dimaknai secara inhern (dalam kesadaran). Oleh karena itu, konsep birrul walidain harus sejalan dengan pendidikan anak agar anak melaksanakan kewajibannya terhadap orang tuanya didasari kesadaran bukan karena terpaksa. Penulis kira tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya bersifat munafik; alim di hadapan orang tuanya dan bejat di belakang mereka (orang tua).
            Ketika birrul walidain dianggap sebagai keharusan semata, tanpa mempertimbangkan kepentingan dan kecenderungan anak, pada saat itulah terciptanya ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan itu juga menciptakan dikotomi antara konsep birrul walidain dengan pendidikan anak. Pemahaman terhadap karakter anak selalu memerankan fungsi yang luar biasa pentingnya bagi orang tua untuk melakukan langkah-langkah selanjutnya.
            Tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya celaka, tetapi jika kecelakaan itu dimaknai dengan sekehendak hati maka akan terjadilah benturan konsep pendidikan dengan konsep birrul walidain. Apa yang dimaksudkan dengan kecelakaan oleh orang tua dan benarkah itu sebagai kecelakaan bagi anak? Pertanyaan ini patut dipertimbangkan oleh orang tua yang bersangkutan.
            Terkadang orang tua mengukur logika atau psikologis anak dengan logika atau psikologisnya sendiri, sehingga sering tidak sejalan dengan kebutuhan anak. Cara-cara yang demikian sungguh otoriter dan secara langsung atau tidak langsung tidak mengakui eksistensi anak sebagai manusia yang mempunyai pilihan dan kehendak bebas. Orang tua seharusnya mampu bersikap lebih bijak dalam memberikan bimbingan kepada anaknya. Jangan sampai salah satu pihak ada yang menjadi korban.
            Secara logika terbalik (mafhum mukhalafah), makna logika atau psikologis yang benar yang diidentikkan dengan mengikuti orang tua atau menanamkan kondisi kejiwaan orang tua ke dalam jiwa anak, dapat mengakibatkan pemberontakan anak, atau yang lebih parah lagi, adalah kedurhakaan anak, yang sebenarnya berasal dari orang tua itu sendiri. Meskipun analisa ini tidak sepenuhnya benar, akan tetapi perlu diwaspadai karena lebih banyak benarnya.
            Konsep pendidikan semestinya dibangun di atas landasan kemanusiaan. Begitu pula tampaknya yang semestinya terjadi pada konsep birrul walidain. Ajaran untuk taat dan berbuat baik kepada orang tua hendaknya dibarengi dengan contoh yang baik. Hal ini membuktikan bahwa orang tua tidak hanya pandai dalam menuntut kewajiban anak, tetapi juga memahami apa yang seharusnya dilakukan kepada anaknya.
            Dalam tataran ini, memahami karakter anak menjadi dasar bagi birrul walidain. Anak tidak mungkin punya argumentasi untuk membantah orang tuanya, jika memang orang tuanya telah menerapkan sistem yang sesuai dengan karakter anak. Anak akan menerima perintah orang tua dengan lapang dada, jika perintah itu disampaikan dengan cara yang benar. Maka sekali lagi penulis katakan, bahwa memahami karakter anak merupakan landasan bagi terciptanya birrul walidain.
Al-Ghazali berpandangan bahwa pendidikan harus didasarkan pada landasan kemanusiaan. Manusia, ditinjau dari hakikat wujudnya, adalah :
1. Makhluk yang terdiri dari jasad dan roh;
2. Manusia yang suci sejak lahir;
3. Makhluk relgius; dan
4. Makhluk individu dan sosial.[1]
            Dengan memahami karakter dasar manusia, maka dapat dipertimbangkan bagaimana makna dan konteks pendidikan anak dan birrul walidain. Meskipun bukan sebuah peta yang komprehensif, setidaknya pemahaman terhadap diri eksistensial manusia dapat dijadikan batu pijakan dalam mendidik anak, yang di dalamnya terdapat birrul walidain.
B.     Pengaruh Keluarga
            Dalam perkembangan anak salah satu faktor yang sangat vital adalah lngkungan keluarga. Secara umum faktor lingkungan dbagi menjadi tiga baga, yaitu kandungan melahirkan dan setelah melahirkan.(Fadlyana eddy, Dr, SpA(K), M.Kes, 101 pertanyaan tentang anak, Media percikan iman, Bandung, 2005, hal.4) hal tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan anak-anak, dan menentukan masa depan mereka, bahkan barangkali ia merupakan jalur pertama dalam pewarisan agama dan bahasa. Para ulama dalam bidang akhlak menegaskan bahwa dua unsur yang sangat menentukan dalam pendidikan dan tingkah laku adalah hereditas dan lingkungan, kendati mereka berbeda pendapat tentang mana di antara keduanya yang lebih kuat pengaruhnya.
            Pengaruh orang tua lebih banyak dalam konteks keluarga daripada sebagai personal. Artinya, bagaimana kondisi keluarga lebih berpengaruh terhadap perkembangan psikologis anak dan orang tua merupakan unsur keluarga yang mempunyai kemampuan untuk mengondisikan keluarga. Karena itu peranan orang tua dalam pembentukan watak anak selain bersifat langsung juga tidak langsung.
            Dalam bab II telah dibahas bagaimana perkembangan dan karakteristik anak. Dalam masa-masa itu hubungan anak dengan orang tuanya sangatlah intens mengingat waktu anak lebih banyak dihabiskan bersama orang tuanya. Dengan hubungan yang begitu intens itu, otomatis akan mempengaruhi kondisi kejiwaannya. Anak akan lebih memahami pesan visual daripada pesan oral. Karena ini menyangkut masalah kejiwaan dan tingkat kecerdasannya yang memerlukan pemahaman dari orang tuanya.
            Menanamkan nilai-nilai birrul walidain merupakan kewajiban orang tua. Secara lebih luas, orang tua mempunyai kewajiban mendidik anak. Dalam pelaksanaannya adalah kewajiban anak. Kondisi keluarga sangat berperan dalam membentuk mentalitas anak, termasuk menanamkan nilai-nilai birrul walidain. Dengan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan birrul walidain dan pendidikan anak akan memudahkan bagi kedua belah pihak.
            Bagaimana anak dididik begitulah dia akan bertingkah laku. Jika dia diajarkan budi pekerti, maka dia akan mengikutinya. Tentu di sini perlu diingatkan kembali bahwa metode mendidik anak itu lebih penting daripada materi yang disampaikan. Sebab, materi akan lebih mudah dicerap anak jika disampaikan dengan cara yang sesuai dengan perkembangan psikologisnya.
            Karakter anak, sebagaimana telah dikemukakan di atas, mempunyai landasan dan kecenderungan yang berbeda, yang dari perbedaan itu harus dihargai sesuai dengan kapasitasnya sebagai manusia. Manusia yang mempunyai keunikan dan ciri khas tersendiri yang membedakannya dari manusia-manusia lain. Di dalam Alquran dinyatakan:
 يَاأَيُّهَاالنَّاسُ اِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَ قَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا اِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ.

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat/49: 13) [2]
            Yang ingin digarisbawahi di sini adalah perbedaan di antara manusia memperoleh legitimasi dari Alquran. Pernyataan ini juga memberikan isyarat bahwa dari jenis kelamin yang berbeda, beragamnya bangsa dan suku tentu menyebabkan perbedaan karakter dan segala keunikannya. Dapat kita fahami bahwa ketika Allah berfirman waja’alnaakum syu’uuban qobaa-ila, lita’aarofu…, kukira yang dimaksud, Insya Allah, bukan sekedar perbedaan bangsa-bangsa dan suku-suku saja, melainkan lengkap dengan analoginya, dengan konotasinya. Yakni bahwa di samping bangsa-bangsa dan suku-suku selalu memiliki unikum-unikum tersendiri yang membebaskan alam hidup mereka, juga tentulah ada pengertian yang lebih meluas: ada syu’uub dan qobaa-il pemikiran yang mencerminkan tipologi internalisasi keagamaan yang berbeda-beda.
            Pola pikir dan pemahaman seseorang tidak lepas dari konteks zaman dan sistem sosial di mana ia hidup. Keluarga adalah salah satu kondisi sosial yang begitu dekat dengan anak, sehingga tentu saja sangat berpengaruh bagi anak, apalagi jika merujuk kepada sub bab periodesasi perkembangan dan karakter anak.
Keluarga adalah alat yang menjembatani bagi terciptanya penanaman nilai-nilai birrul walidain dan pendidikan dalam diri anak. Selain memiliki hubungan yang erat, birrul walidain dan pendidikan anak kemudian terwadahi oleh keluarga. Jadi kedudukan keluarga bagi birrul walidain dan pendidikan anak adalah sebagai wadah dan subjek yang menjembatani keduanya dan kondisi bagi keduanya.
            c. Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban Orang Tua dan Anak
            Sebelumnya telah dibicarakan masalah hak dan kewajiban. Bagaimana orang tua punya hak dan kewajiban terhadap anaknya, begitupun dengan anak, dia juga punya hak dan kewajiban kepada orang tuanya. Hubungan timbal balik ini menandakan adanya keseimbangan dan harmonisasi antara orang tua dan anak. Hubungan timbal balik ini juga merupakan keharusan bagi setiap muslim.
Tanggung jawab atas hak dan kewajiban bukan sekedar bersifat sosial, tetapi juga moral, sebab manusia adalah makhluk sosial sekaligus individual. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas dari penilaian sosial (masyarakat umum), yang artinya segala apapun yang dilakukannya dituntut oleh norma sosial. Sedang secara moral, manusia punya kecenderungan dan dorongan untuk melakukan hal yang seharusnya.
            Dalam konteks hak dan kewajiban, orang tua punya tanggung jawab moral untuk membimbing anaknya begitupun dengan anak juga memiliki perasaan moral untuk menghormati dan mentaati orang tuanya. Oleh karena itu, orang tua atau anak yang tidak bisa melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang tidak akan memperoleh ketenangan. Dia bukan hanya menuai kritik dari masyarakat, tapi juga dari dirinya.
            Analisa ini mengandaikan bahwa dengan meninggalkan hak dan kewajiban tidak hanya bermakna mengkhianati masyarakatnya, tetapi juga mengkhianati dirinya sendiri. Dia tidak hanya dinilai oleh masyarakatnya sebagai pengkhianat, tetapi dia juga telah mengkhianati hati nuraninya sendiri. Berdasarkan analisa ini hendaknya hak dan kewajiban dilaksanakan secara seimbang atau tidak berat sebelah.
            Sebaliknya, jika masalah hak dan kewajiban ini salah dimengerti atau diajarkan dengan cara yang salah akan timbul pemberontakan, pemahaman mereka cenderung dipaksakan bukan atas dasar kesadaran. Orang tua yang lebih menekankan haknya dan banyak menuntut kewajiban anak berarti telah menekan kemanusiaan anak, sehingga tidak heran jika anak melakukan pemberontakan. Pertanyaannya sekarang adalah, di mana letak hubungan antara birrul walidain dan pendidikan anak dalam kerangka hak dan kewajiban orang tua dan anak?
            Sebagaimana telah dikemukakan tentang makna birrul walidain memiliki dua sisi. Sisi pertama menunjuk kepada ketaatan kepada orang tua, yang wajib dilaksanakan selama dalam kerangka kebaikan dan kebenaran, sedangkan sisi kedua adalah keharusan berbuat baik kepada orang tua tanpa kecuali, bahkan ketika orang tua adalah seorang musyrik. Contoh yang diberikan Alquran adalah peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim. Bagaimana Ibrahim tetap hormat terhadap ayahnya, yang nota bene adalah pembuat berhala.
            Birrul walidain dapat dikatakan sebagai pendidikan akhlak anak kepada orang tuanya sekaligus latihan untuk bersikap sama kepada orang yang lebih tua dari dia selain orang tuanya. Pendidikan akhlak dalam keluarga ditujukan pada pembentukan mental anak, menghormati dan menghargai orang lain, memberikan masukan dan mengkritik yang tidak menyinggung perasaan orang lain, dan agar dia tidak melakukan penyimpangan.
            Pelajaran yang langsung dapat diambil dari konsep birrul walidain bersifat analogis. Keharusan berbakti kepada orang tua juga merupakan keharusan yang lebih luas, yaitu mengabdikan diri bagi kepentingan sosial. Dari berbakti kepada orang tua menuju berbakti kepada masyarakat, dunia yang lebih luas. Kenyataan ini mau tidak mau harus menjadi perhatian anak sebab mereka pasti berhadapan dengan masyarakatnya. Maka, sekali lagi, orang tua punya kewajiban mendidik akhlak anak.
Perasaan moral secara inhern mewujud di dalam diri manusia, namum tidak jelas batas-batasnya, sehingga diperlukan aturan-aturan baku, termasuk di dalamnya birrul walidain. Di sinilah orang tua kembali berperan dalam menyampaikan dan menanamkan nilai-nilai birrul walidain. Penanaman nilai-nilai norma masyarakat dan agama menjadi sangat penting dalam hubungan anak dengan lingkungannya.
Birrul walidain sebagai kewajiban anak tidak berlaku secara sepihak. Ia harus diimbangi oleh kewajiban orang tua terhadap anaknya, sehingga tidak ada kejanggalan atau ketimpangan dalam melaksanakan hak dan kewajiban. Selama ini, yang lebih berkembang di masayarakat masih timpang, yaitu lebih banyak membahas masalah hak orang tua dan kewajiban anak.
            Sementara berbicara tentang pendidikan anak berarti berbicara tentang kewajiban orang tua terhadap anaknya. Ini juga berarti hak anak untuk mendapatkan pendidikan dari kedua orang tuanya. Dan memang secara tidak terelakkan orang tua mesti mendidik anaknya. Kenyataan bahwa anak dalam masa perkembangannya begitu dekat dengan orang tuanya menyebabkan anak belajar dari orang tuanya.
Pemahaman seperti ini memang mengokohkan keseimbangan antara hak dan kewajiban orang tua dan anak. Namun jika dilihat lebih jauh lagi, hak itu sebenarnya berasal dari penunaian kewajiban. Orang tua akan mendapatkan haknya jika dia mendidik anaknya dengan benar, sebaliknya dia akan menuai kesalahan yang dilakukannya. Jadi sebenarnya, baik birrul walidain ataupun pendidikan anak merupakan hak sekaligus kewajiban orang tua dan anak.
d.      Hubungan Birrul Walidain dengan Pendidikan Anak
            Untuk melihat hubungan langsung antara pendidikan anak dengan birrul walidain, maka pertama-tama yang perlu dilakukan adalah mencari dasar pijak keduanya. Dengan pemahaman terhadap titik pijak masing-masing, maka akan terlihat persamaan dan perbedaan keduanya. Dari sisi ini pula dapat dilihat hubungan tidak langsung antara birrul walidain dan pendidikan anak.
            Pendidikan anak lebih menekankan aspek psikologis, yang artinya, pemahaman terhadap karakter anak, atau secara lebih tegas dapat dikatakan, dasar pijaknya adalah nilai-nilai kemanusiaan anak. Hal ini terlihat dari definisi pendidikan anak. Sebagaimana diuraikan pada bab II, bahwa pendidikan anak pada hakikatnya adalah suatu proses untuk mempersiapkan generasi berikutnya dalam menjalani kehidupan dan mencapai tujuan kemanusiaan yang hakiki.
            Di sini terlihat, kemanusiaan merupakan tujuan pendidikan. Dalam konteks pendidikan anak, anak dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan yang akan datang berdasarkan watak dasariah yang dimilikinya, sehingga anak berkembang berdasarkan keinginan dan kebutuhannya. Kemanusiaan tidak hanya merupakan tujuan pendidikan anak, tetapi juga merupakan dasar pijaknya.
Dengan demikian, dalam konteks hubungan orang tua dan anak, kedudukan orang tua adalah sebagai pembimbing. Orang tua hanya berhak mengarahkan anaknya berdasarkan kecenderungan anak itu sendiri, dan boleh mencegah anak dari suatu perbuatan, jika perbuatan itu membahayakan dirinya dan merupakan penyimpangan.
            Definisi yang dikemukakan Natsir, Azra, dan Ki Hajar Dewantara, tampak sudah memenuhi kriteria ini.
Atas dasar ini, maka tidak ada alasan untuk mendidik anak secara doktriner. Anak justru harus dididik secara demokratis, agar dia punya keleluasaan berpikir, kedewasaan bersikap, menghargai orang lain, dan secara psikologis, dia punya kesadaran dan kebebasan untuk melakukan atau memutuskan sesuatu.
            Sekarang masuk kepada makna birrul walidain, apa dasar pijak birrul walidain? Seperti halnya pendidikan, birrul walidain melibatkan unsur orang tua, anak, dan materi akhlak terhadap orang tua (birrul walidain). Tentu saja dilihat dari sini tampak bahwa birrul walidain merupakan bagian dari materi pendidikan anak, karena itu pula harus dilakukan sesuai dengan metode pendidikan anak.
Kenyataan bahwa sering terjadi ketidakseimbangan atau pemisahan antara birrul walidain dengan pendidikan anak, lantaran kesalahpahaman terhadap kedua konsep ini. Istilah pendidikan lebih diidentikkan dengan sekolah, sedangkan birrul walidain lebih ke konteks keluarga. Padahal secara material, antara birrul walidain dan pendidikan anak bukanlah dua komponen yang terpisah. Birrul walidain adalah bagian dari materi pendidikan anak dan sangat mendukung bagi pengkondisian pendidikan anak selanjutnya.
            Selain dari unsur-unsur yang telah disebutkan di atas, ada beberapa unsur lainnya yang mesti menjadi perhatian orang tua. Di antaranya yang sangat penting adalah metode atau strategi mendidik anak dan media yang mewadahinya, yaitu keluarga. Secara metodologis, pendidikan anak ataupun penanaman nilai-nilai birrul walidain harus dilaksanakan dengan sama-sama mempertimbangkan aspek psikologis anak. Anak harus diperlakukan sebagai subjek bukan objek.
            Dalam uraian bab II dijelaskan bagaimana kondisi keluarga sangat mempengaruhi kondisi psikologis anak, pemahaman terhadap karakter anak mengharuskan orang tua untuk mempertimbangkan strategi pendidikan yang dibangunnya. Singkatnya, karena pendidikan anak dan birrul walidain berasal dari rumpun yang sama, berarti memiliki titik pijak yang sama, yaitu nilai-nilai kemanusiaan, yang dalam konteks ini adalah, karakter dan kecenderungan yang ada pada anak.
            Lebih jauh lagi, karena birrul walidain merupakan bagian dari materi pendidikan, maka harus dilaksanakan sesuai dengan metode pendidikan. Artinya, titik temu antara birrul walidain dengan pendidikan anak selain terletak pada aspek material juga pada tataran metodologis. Anak diajarkan nilai-nilai birrul walidain. Strategi menanamkan nilai-nilai birrul walidain sama dengan metode mendidik anak.


[1] Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Dien vol. 3 (Libanon: Dar  al-Fikr, t.t) hal. 243.
[2] Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Surabaya: Dana Karya, 2004), hal. 847
[46] Ibid. hal. 349.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syaifullah. Nine Atlen Maulana, Melejitkan Potensi Kecerdasan Anak. (PT. Kata Hati. Jogjakarta 2005).

Al-Bukhari, Shahih Bukhari vol 4 (Libanon: Muassasat Risalah, t.t)
Al Farmawi, Abdul Hayy, Metode Tafsir Maudu’iy, Jakarta, Rajawali Pers, 1994.
Aly, Hery Noer dan Munzier S., Watak Pendidikan Islam, Jakarta, Friska Agung
Al Hasyimi, Al Sayyid Ahmad, Mukhtar al-Ahadits al-Nabawiyah wa al-Hikam al-Muhammadiyyah, Beirut, Dar al-Fikr, 1984.

Al Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al Maraghi, terj. Hery Noer Aly dkk. jilid 18, Semarang, Toha Putra 1987.

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2002.

Barnadib, Sutari Imam, Pengantar Ilmu Mendidik Anak, Yogyakarta, Institut Press IKIP Yogyakarta, 1982.

Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Surabaya: Dana Karya, 2004)
Faisal Bahar, Ilmu Pendidikan (Sumenep: t.p. 2002)
Hartati, Netty, dkk., Islam dan Psikologi, Jakarta, Rajawali Pers, 2004.
Kubrik : Prenting, Mengoptimalkan Perkembangan Kecerdasan Pada Anak Sejak Dini, Jum’at 25 Januari 2008, By. Admin

Majid, Nurchalish, Masyarakat Relijius, Jakarta, Paramadina, 2000.
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progratif,

Muslim bin Hajjat, Abul Husein, Shahihul Muslim, juz II, t.tp., Al Qana’ah, t.th.
Mustaqim dan Abdul Wahib, Psikologi Pendidikan, Jakarta, Rineka Cipta, 1991.
Nadjib, Emha Ainun, Aggukan Ritmis Kaki Pak Kiai, Surabaya, Risalah Gusti, 1994.
Naparin, Husin, Fikrah: Refleksi Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan (1), Jakarta, el-Kahfi, 2003.

Muhyidin, muhammad Manajemen ESQ Power. Diva press. Jogjakarta.2007
Poerwada minta. WJS Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta Balai Pustaka 1976.
Quthb, Sayyid, Fi Zhilalil Qur’an, jilid V, Beirut, Darul Ihyait Taratsitiz Zahabi, 1981.

Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1993.
Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta, Rajawali Pers, 2005.
Sudirman, N. et, al. Ilmu Pendidikan (Bandung CV Remaja Karya 1987)
Shafiq, Muhammad, Mendidik Generasi Baru Muslim, terj. Suhadi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000.

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, 2005.

Slamato,  Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, (Penerbit Renika Cipta Jakarta 2003)

Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, Jakarta, Rajawali Pers, 2004.
Sujanto, Agus, Psikologi Perkembangan, Jakarta, Aksara Baru, 1986.
Sururin, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta, Rajawali Pers, 2004.
Syah, Muhibbin, Psikologi Belajar, Jakarta, Rajawali Pers, 2005.
Tafsir, Ahmad (ed.), Penididikan Agama dalam Keluarga, Bandung, Remaja Rosdkarya, 2001.

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1990.
Ulwan, Abdullah Nashih, Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak, terj. Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1996.

___________________, Pendidikan Sosial Anak, terj. Tjun Surjaman, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1992.
___________________, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Jilid II, terj. Saifullah Kamalie dan Hery Noer Aly, Bandung, Asy Syifa, 1990.

Zakiyah Drajat, 1981. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta, Reneka Cipta.



BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Berdasarkan uraian di atas ada tiga poin penting yang patut digarisbawahi :
            1. Pendidikan anak. Anak harus dididik sesuai dengan kepribadiannya, sehingga dia mampu mengaktualisasikan dirinya. Ada dua faktor yang perlu diperhatikan yang sangat mempengaruhi pendidikan anak, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor intern adalah dirinya (psikologisnya) sendiri. Sedangkan faktor ekstern adalah kondisi keluarganya. Meskipun masih banyak faktor-faktor lain, akan tetapi ini hanya sebagai penekanan.
            2. Makna birrul walidain. Birrul walidain dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, ketaatan kepada orang tua selama perintahnya untuk kebaikan dan kebenaran; dan kedua, berbuat baik kepada keduanya tanpa kecuali. Selain itu, perlu dilihat kembali sisi lain kemungkinan pemaknaan tambahan birrul walidain, yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban orang tua dan anak.
            3. Secara garis besar, dapat ditarik beberapa relevansi konsep birrul walidain dengan pendidikan anak. Pertama, dilihat dari paralel dasar pijaknya, yaitu kemanusiaan. Sebagaimana pendidikan anak berpijak kepada kemanusiaan begitu juga dengan birrul walidain; kedua,, dilihat dari aspek materi, birrul walidain merupakan bagian dari materi pendidikan anak; ketiga, karena birrul walidain merupakan bagian dari materi pendidikan maka metode yang digunakan juga tidak berbeda; keempat, penanaman nilai-nilai birrul walidain dan secara lebih luas, pendidikan anak terwadahi oleh keluarga.
B. Saran-saran
            1. Tulisan ini sebagai sumbangan ilmiah dan sekaligus menjadi pertimbangan, bagi pelaksana pendidikan di rumah tangga., agar melihat permasalahan birrul walidain dan pendidikan anak tidak hanya sepihak.
            2. Kepada teman-teman mahasiswa yang sekaligus sebagai calon orang tua hendaknya lebih bijak dalam mengambil sikap menghadapi anak-anaknya jika nanti sudah punya anak.
            3. Kepada para orang tua dan calon orang tua secara umum agar dapat mengambil pelajaran dan lebih memahami keinginan anak-anaknya.






DAFTAR PUSTAKA
1.      Al Farmawi, Abdul Hayy, Metode Tafsir Maudu’iy, Jakarta, Rajawali Pers, 1994.
2.      Aly, Hery Noer dan Munzier S., Watak Pendidikan Islam, Jakarta, Friska Agung
3.      Al Hasyimi, Al Sayyid Ahmad, Mukhtar al-Ahadits al-Nabawiyah wa al-Hikam al-Muhammadiyyah, Beirut, Dar al-Fikr, 1984.
4.      Al Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al Maraghi, terj. Hery Noer Aly dkk. jilid 18, Semarang, Toha Putra 1987.
5.      Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2002.
6.      Barnadib, Sutari Imam, Pengantar Ilmu Mendidik Anak, Yogyakarta, Institut Press IKIP Yogyakarta, 1982.
7.      Hartati, Netty, dkk., Islam dan Psikologi, Jakarta, Rajawali Pers, 2004.
8.      Majid, Nurchalish, Masyarakat Relijius, Jakarta, Paramadina, 2000.
9.      Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progratif, .
10.  Muslim bin Hajjat, Abul Husein, Shahihul Muslim, juz II, t.tp., Al Qana’ah, t.th.
11.  Mustaqim dan Abdul Wahib, Psikologi Pendidikan, Jakarta, Rineka Cipta, 1991.
12.  Nadjib, Emha Ainun, Aggukan Ritmis Kaki Pak Kiai, Surabaya, Risalah Gusti, 1994.
13.  Naparin, Husin, Fikrah: Refleksi Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan (1), Jakarta, el-Kahfi, 2003.
14.  Quthb, Sayyid, Fi Zhilalil Qur’an, jilid V, Beirut, Darul Ihyait Taratsitiz Zahabi, 1981.
15.  Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1993.
16.  Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta, Rajawali Pers, 2005.
17.  Shafiq, Muhammad, Mendidik Generasi Baru Muslim, terj. Suhadi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000.
18.  Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, 2005.
19.  Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, Jakarta, Rajawali Pers, 2004.
20.  Sujanto, Agus, Psikologi Perkembangan, Jakarta, Aksara Baru, 1986.
21.  Sururin, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta, Rajawali Pers, 2004.
22.  Syah, Muhibbin, Psikologi Belajar, Jakarta, Rajawali Pers, 2005.
23.  Tafsir, Ahmad (ed.), Penididikan Agama dalam Keluarga, Bandung, Remaja Rosdkarya, 2001.
24.  Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1990.
25.  Tim Penterjmah/Pentafsir, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an, t.th.
26.  Ulwan, Abdullah Nashih, Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak, terj. Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1996.
27.  ___________________, Pendidikan Sosial Anak, terj. Tjun Surjaman, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1992.
28.  ___________________, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Jilid II, terj. Saifullah Kamalie dan Hery Noer Aly, Bandung, Asy Syifa, 1990.
29.  Al-Bukhari, Shahih Bukhari vol 4 (Libanon: Muassasat Risalah, t.t) hal. 363.